Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo akhirnya mempercayakan Yenti Garnasih sebagai ketua panitia seleksi (pansel) calon nahkoda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Namanya diumumkan sebagai ketua pansel pada 17 Mei lalu.
Surat keputusan presiden atas penetapan dirinya dan 8 anggota lainnya diberikan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko pada (20/5) lalu di Kementerian Sekretariat Negara. Proses pendaftaran capim KPK dimulai pada 17 Juni - 4 Juli 2019. Sementara, pansel harus bisa segera mengajukan 10 nama ke Presiden Jokowi untuk kemudian diuji di DPR.
Kendati Yenti sudah pernah terlibat dalam pansel calon pimpinan KPK periode sebelumnya, namun ia mengaku tugasnya kali ini tidak mudah. Selain menjadi tumpuan harapan publik untuk memilih pimpinan KPK dengan rekam jejak yang bersih, Yenti juga dikritik oleh sebagian pihak, termasuk masyarakat sipil antikorupsi.
Mereka menilai pantia seleksi kali ini adalah yang terburuk yang pernah ada. Salah satunya karena ada tiga anggota yang dulunya juga pansel. Apalagi pansel periode sebelumnya diklaim menghasilkan pimpinan KPK yang paling lemah dalam sejarah institusi antirasuah.
Yenti pun mengaku kecewa karena belum tahap ke proses pemilihan saja, ia sudah dihujani kritik. Perempuan pertama peraih gelar doktor di bidang tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu semakin kecewa karena disebut tak memiliki semangat pemberantasan korupsi.
"Padahal, yang suka ke pengadilan dan dijadikan saksi ahli, lalu ngotot agar kasus korupsi juga dikenakan pasal TPPU lalu menang itu saya. Masak saya dibilang tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi?," kata Yenti yang ditemui khusus oleh IDN Times di ruang kerjanya di lantai 10 ruang rektorat Universitas Trisakti pada (28/5) lalu.
Menurut Yenti, tudingan tersebut tak hanya membuatnya kecewa tetapi juga dianggap telah merusak reputasinya yang sudah ia bangun selama puluhan tahun. Padahal, kritik tajam seperti itu tak pernah ia dengar ketika bergabung di pansel periode sebelumnya. Ketika itu, ia hanya sempat dicap sebagai geng ibu-ibu arisan yang tak paham soal hukum.
Selain kritik yang bertubi-tubi, perempuan yang sering dijadikan ahli TPPU di persidangan itu juga berpacu dengan waktu. Ia dan 8 orang lainnya dipilih ketika bulan Ramadan yang dipotong waktu libur Idul Fitri. Padahal, tenggat waktunya di bulan Desember mendatang, pimpinan KPK yang baru sudah harus dilantik.
Ia sempat khawatir dengan waktu yang mepet itu, jumlah peserta yang mengikuti proses seleksi sedikit. Atau justru sebaliknya yang daftar banyak tapi tidak ada yang memenuhi kualifikasi. "Kalau begitu caranya, maka tidak ada jalan lain selain menambah waktu pendaftaran dari yang semula 2 minggu," kata Yenti.
Di bawah kepemimpinannya, Yenti membuka peluang selebar-lebarnya kepada siapa saja baik dari unsur masyarakat dan pemerintah. Termasuk dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Kendati keterlibatan polisi dan jaksa di dalam tubuh KPK kerap dianggap sebagai benalu, namun di mata Yenti, insitusi antirasuah butuh kehadiran penegak hukum lainnya.
"Boleh saja orang-orang di luar pemerintah menjadi pimpinan KPK, tapi kalau mereka tidak memahami hukum, mau ngapain nanti? Ini yang dilawan adalah koruptor yang luar biasa," kata dia.
Lalu, apa gebrakan Yenti sebagai ketua pansel untuk dapat memilih pimpinan KPK yang memiliki rekam jejak baik dan kemampuan yang mumpuni? Apalagi KPK menjadi institusi hukum yang masih dipercayai oleh publik. Lantas, mengapa Yenti sangat berharap komposisi pimpinan KPK juga terdiri dari latar belakang Polri dan jaksa?
Simak perbincangan khusus IDN Times dengan Yenti Garnasih berikut:
1. Bisakah Anda ceritakan seperti apa awal mula ditawari oleh Pak Jokowi untuk menjadi pansel capim KPK? Sebelumnya Anda kan juga sudah pernah jadi pansel, mengapa mau bergabung kembali?
Ya, saya dihubungi oleh Kemensetneg itu seminggu sebelumnya (sebelum diumumkan jadi ketua pansel). Menghubunginya begini, "Nama Anda akan diusulkan ke Presiden, Anda kira-kira bersedia gak?"
Saya pikir dulu kan udah (pernah jadi pansel). Ini jadi keterlibatan kali kedua saya di pansel KPK. Saya juga pernah terlibat di pansel Kompolnas.
Tetapi, malah yang saya baca di beberapa media, malah ada suara yang menginginkan saya untuk menjadi pengganti Agus Rahardjo (Ketua KPK periode 2015-2019). Yang mendorong saya untuk melamar jadi komisioner KPK itu sudah banyak. Bahkan, sejak di periode pertama. Kan saya memiliki keahlian di bidang pencucian uang.
Kalau saya masuk di KPK atau instansi tertentu maka saya tidak bisa bersikap leluasa. Saya tetap ingin ngajar dan membagi keilmuan. Saya juga masih punya lah sedikit kiat untuk penegakan hukum dan keilmuwan terkait dengan korupsi serta pencucian uang. Saya berpikir akan lebih bermanfaat kalau ada di luar institusi tersebut.
Ketika saya ditawari jadi pansel, ya saya bersedia gitu saja. Tapi, itu kan seminggu sebelumnya. Pas hari diumumkan saya sudah lupa. Tiba-tiba salah satu media menanyakan ke saya soal tanggapan saya yang dipilih jadi ketua pansel. Saat itu, saya jawab, "Saya belum baca (pengumuman itu)". Apalagi masa sekarang kan banyak informasi hoaks. Saya santai saja, apalagi juga lupa.
Lagipula pansel yang 5 tahun lalu dan sekarang itu ditetapkannya dengan Keppres dan ditunjuk langsung oleh Presiden. Artinya, dipercaya oleh Presiden. Sementara, pansel periode pertama dan kedua kan SK nya dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM. Karena dipercaya oleh Presiden, ya saya ingin berbakti kepada negara melalui pansel itu.