Fraksi Demokrat: RUU Kesehatan Terindikasi Muluskan Bisnis Asing

Santoso temui massa aksi

Jakarta, IDN Times - Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Santoso menemui tenaga kesehatan (nakes) yang menggelar demo di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2023).

Mereka menggelar demo bertajuk Aksi Selamatkan Kesehatan Rakyat Indonesia sebagai bentuk penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI.

Baca Juga: RUU Kesehatan Disahkan DPR Hari Ini, Jokowi: Ya, Bagus

1. RUU Kesehatan berisiko muluskan bisnis kesehatan asing di Indonesia

Fraksi Demokrat: RUU Kesehatan Terindikasi Muluskan Bisnis AsingDemo tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam kesempatan itu, Santoso menyampaikan RUU Kesehatan terindikasi memuluskan bisnis di bidang kesehatan.

Menurutnya, RUU tersebut berisiko dimanfaatkan jadi ladang bisnis pihak tertentu, sehingga menyampingkan kesejahteraan tenaga kesehatan (nakes). Dia menyoroti peluang terbukanya investor asing masuk ke Indonesia di bidang kesehatan.

"Undang-undang ini terindikasi pesanan dari para pihak yang ingin membangun bisnis kesehatan di Indonesia, kenapa? Karena Indonesia memiliki potensi penduduk keempat terbesar di dunia. Ini menjadi peluang market bagi perusahaan-perusahaan multinasional di bidang kesehatan," ujar Santoso di lokasi.

"Undang-undang ini memberikan peluang yang cukup besar terhadap masuknya usaha-usaha di bidang kesehatan dari luar negeri. Ini yang menjadi dasar kita agar undang-undang kini tetap kita tolak," lanjut dia.

Baca Juga: Demo Tolak RUU Kesehatan, Nakes Pertimbangkan Mogok Kerja

2. IDI kritisi RUU Kesehatan beri keistimewaan buat nakes asing

Fraksi Demokrat: RUU Kesehatan Terindikasi Muluskan Bisnis AsingDemo tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara itu, Ketua Biro Hukum IDI Tangerang Selatan, Panji Utomo mengkritisi salah satu poin yang terdapat dalam RUU Kesehatan yang seakan memberikan hak keistimewaan nakes asing.

Panji menilai, nakes asing itu diberikan kemudahan membuka praktik di Indonesia. Sementara nakes di Indonesia harus melewati prosedur yang sangat panjang jika ingin membuka praktik sendiri.

"Poin yang paling mendasar untuk kami salah satunya adalah memberikan privilage khusus untuk dokter asing, kemudahan mereka praktik di sini. Sementara orang kita, untuk praktik aja prosedurnya cukup panjang. Tapi mereka diberi kemudahan," ucap dia.

Oleh sebab itu, Panji menilai RUU Kesehatan tersebut berbau politis karena memfasilitasi dokter asing untuk membuka praktik secara masif.

"Jadi bahasanya ini ada satu politis RUU (Kesehatan) diciptakan untuk nantinya dokter asing itu dibiarkan untuk praktik secara masif, artinya diberikan kewenangan, tempat khusus, dan kemudahan," imbuh dia.

Baca Juga: Tok! DPR Sahkan RUU Kesehatan Jadi Undang-Undang

3. Ketum PB IDI soroti sejumlah masalah dalam RUU Kesehatan

Fraksi Demokrat: RUU Kesehatan Terindikasi Muluskan Bisnis AsingDemo tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, Ketua Umum PB IDI, Moh. Adib Khumaidi mengapresiasi upaya Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) yang mengajukan petisi permohonan penundaan RUU Omnibus Law Kesehatan kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani beserta seluruh anggota DPR. Adapun petisi itu diajukan lebih dari 150 orang Guru Besar lintas profesi, baik dari profesi kesehatan dan non kesehatan.

Kemudian, kata Adib, setelah membaca, menelaah, mendiskusikan secara seksama, dengan berbasis bukti, tentang RUU Kesehatan ini, para guru besar ini mengidentifikasi sejumlah isu serius di dalamnya yang sangat perlu dipertimbangkan.

Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan UU, yaitu asas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan, dan kejelasan rumusan.

Kemudian kedua, PB IDI menilai tidak ada urgensi atas pengesahan RUU Kesehatan.

"Tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini. Dalam 9 UU Kesehatan yang ada saat ini masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya redundancy dan kontradiksi antar satu sama lain," ucap dia dalam keterangannya.

Ketiga, Adib menilai, berbagai aturan dalam RUU justru berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.

"Sementara, keempat, pengesahan RUU Kesehatan menuai begitu banyak kontroversi yang bisa melahirkan kelemahan penerimaan dan implementasi undang-undang (reluctant compliance) yang ujungnya bermuara pada konflik dan ketidakstabilan bidang kesehatan," imbuh dia.

Oleh sebab itu, para guru besar lintas profesi ini mengusulkan pengesahan RUU ini ditunda dan kemudian dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan.

Topik:

  • Dheri Agriesta

Berita Terkini Lainnya