Jimly Nilai Hak Angket DPR Bukti Jalannya Fungsi Kontrol

Penyelenggara pemilu tak boleh tunduk oleh tekanan DPR

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menilai bahwa hak angket atau penyelidikan sebagai salah satu sarana pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan.

Dia menyebut, hak angket selalu digunakan DPR di masa setelah reformasi, yakni pemerintahan Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

"Hanya di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, hak angket DPR belum pernah digunakan," kata Jimly dalam keterangannya, Sabtu (24/2/2024).

1. Hak angket DPR mencerminkan jalannya fungsi kontrol

Jimly Nilai Hak Angket DPR Bukti Jalannya Fungsi KontrolMantan Ketua KPK Antasari Azhar (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Jimly menyampaikan, hak angket DPR mencerminkan berjalannya fungsi checks and balances antar kekuasaan eksekutif dan legislatif sebagai perwujudan sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945. 

Karena itu, rencana pengunaan hak angket sebagai proses politik di DPR harus dilihat secara positif dalam rangka penguatan sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas.

"Sementara itu, proses hukum penyelesaian perkara melalui peradilan administrasi di Bawaslu dan PT-TUN, peradilan pidana pemilu di peradilan umum, dan peradilan hasil pemilu di MK harus pula dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menyalurkan aspirasi ketidak-puasan terhadap proses dan terhadap hasil pemilu," ujar Jimly.

Baca Juga: TPDI: Hak Angket DPR Langkah Tepat Jawab Tuntutan Pilpres Jujur Adil

2. Proses politik dan hukum sama pentingnya untuk salurkan ketidakpuasan

Jimly Nilai Hak Angket DPR Bukti Jalannya Fungsi KontrolIlustrasi aturan hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Jimly lantas menyebut, proses politik dan hukum sama pentingnya untuk menyalurkan ketidakpuasan dan kemarahan publik terhadap proses dan hasil pemilu, terutama hasil pilpres, melalui mekanisme yang resmi ke ruang-ruang sidang yang resmi di DPR, ataupun Bawaslu dan MK. 

"Mari kita saksikan kedua proses itu dengan positif, sabar, dan dengan kepercayaan dan sikap optimistis bahwa dinamika ketegangan dan luapan emosi publik, pada waktunya, akan menghasilkan pemerintahan baru yang dapat bekerja dengan sebaik-baiknya menurut konstitusi dan aturan hukum. Serta etika penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku dengan dukungan fungsi pengawasan yang efektif dari parlemen dan fungsi peradilan yang terpercaya dari cabang kekuasaan kehakiman," tuturnya.

Dia mengimbau agar seluruh pihak aktif berperan dengan bertanggungjawab sesuai kewenangan di lembaganya. Adapun dalam hal ini yang akan terlibat DPR, KPU, Bawaslu, DKPP, MK dan MKMK serta lembaga lain yang terkait.

Menurutnya, lembaga itu perlu bekerja aktif dengan sikap dan tekad untuk bekerja independen, imparsial, profesional, transparan, dan berintegritas.

3. Para peserta dan penyelenggara pemilu harus memahami batas kewenangannya

Jimly Nilai Hak Angket DPR Bukti Jalannya Fungsi KontrolIlustrasi (IDN Times/Aditya Pratama).

Lebih lanjut, kata Jimly, para anggota DPR sebagai peserta pemilu harus memahami batas-batas kewenangannya terkait dengan pelaksanaan hak angket dengan mempertimbangkan sejumlah hal.

Pertama, maksud dan tujuan serta substansi isu yang hendak diputuskan, tidak melebar kepada isu-isu liar, seperti pemakzulan presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP.

Kedua, aspek "timing" dan jadwal waktu yang tersedia, sehingga pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD, dan presiden dan wakil presiden terpilih yang telah ditentukan benar-benar tidak terganggung untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945.

Selain itu juga KPU, Bawaslu, dan DKPP harus memahami kedudukannya sebagai cabang kekuasaan keempat di luar cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, legislatif, dan cabang kekuasaan kehakiman. Presiden/wakil presiden dan para anggota adalah peserta pemilu, sedangkan kekuasaan kehakiman, berfungsi mengadili proses dan hasil pemilu. 

"Karena itu, KPU, Bawaslu dan DKPP adalah kekuasaan tersendiri yang tidak boleh tunduk di bawah tekanan para anggota DPR ataupun pasangan calon presiden/wapres sebagai peserta pemilu," beber Jimly.

"Apapun hasil pelaksanaan hak angket DPR tidak boleh dipaksakan efektifitasnya terhadap keputusan KPU mengenai teknis pelaksanaan tahapan pemilu beserta hasilnya kecuali atas perintah BAWASLU atau PT-TUN, dan Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang berlaku final dan mengikat," lanjut dia.

Lebih lanjut, Jimly tak memungkiri, pelanggaran yang biasa disebut kecurangan massif selalu terjadi dalam pemilu sejak orde baru, dan pemilu masa reformasi sejak 1999. Sejak dimulainya pilpres langsung pertama pada tahun 2004 hingga pemilu 2009, 2014, 2019, dan bahkan 2024 pada saat dimulainya praktik pemilu serentak. 

"Pelanggaran massif selalu terjadi di semua pemilu, dan cenderung makin meningkat, termasuk ketika dimulainya praktik sistem suara terbanyak tahun 2009 yang menyebabkan caleg internal parpol saling bersaing sendiri-sendiri, dan puncaknya pada pemilu serentak 2024 yang menyebabkan perhatian terpusat ke pilpres," ujar dia menjelaskan.

Baca Juga: AHY soal Hak Angket Usut Kecurangan Pemilu: Tak Ada Urgensinya

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya