MK Hapus Kewenangan Jaksa Ajukan PK karena Dinilai Inkonstitusional

Berpotensi timbulkan penyalahgunaan kewenangan

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus kewenangan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). MK menyebut, Pasal 30C huruf h, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usma dalam sidang, pada Jumat (14/4/2023).

Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang dihapus berbunyi, "Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali".

Adapun gugatan dalam perkara nomor 20/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Notaris Hartono. 

Baca Juga: Banding KPU Dikabulkan Pengadilan, Jadwal Pemilu 2024 Tak Berubah 

1. Berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan jaksa

MK Hapus Kewenangan Jaksa Ajukan PK karena Dinilai InkonstitusionalIlustrasi Jaksa Penuntut Umum di ruang persidangan. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul menilai, wewenang jaksa dalam mengajukan PK juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa. Khususnya, ketika pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Terlebih lagi, adanya fakta bahwa terkait dengan isu konstitusionalitas PK telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008 dan dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.

“Menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada putusan tersebut seharusnya pembentuk undang-undang memahami benar bahwa dengan menyisipkan tambahan kewenangan kepada Kejaksaan untuk mengajukan PK akan berdampak terhadap terlanggarnya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” kata Manahan.

Baca Juga: Partai Prima Legowo Putusan PN Jakpus soal Tunda Pemilu Dibatalkan

2. Tidak sejalan dengan norma norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP dalam putusan MK

MK Hapus Kewenangan Jaksa Ajukan PK karena Dinilai InkonstitusionalGedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Secara substansi, norma Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang memberikan tambahan kewenangan Jaksa mengajukan PK tidak sejalan dengan norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.  

"Yang menyatakan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK melainkan hanya terpidana atau ahli warisnya," ucap Manahan.

Oleh karena itu, berkenaan dengan norma Pasal 30C huruf h dan penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021, ternyata tidak sejalan dengan landasan pokok untuk mengajukan PK.

Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun juga pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

"Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Manahan melanjutkan, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian hukum," tutur Manahan.

Baca Juga: Mengenal Pengertian dan Tugas PPK, PPS, KPPS dalam Pemilu

3. Empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar

MK Hapus Kewenangan Jaksa Ajukan PK karena Dinilai InkonstitusionalGedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)

Sebagaimana diketahui, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016, MK telah nyatakan jaksa tidak berwenang mengajukan PK, tetapi hanya terpidana atau ahli warisnya.

"Mahkamah perlu menegaskan kembali perihal empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP," ucap Manahan.

Adapun empat landasan pokok itu, di antaranya, peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; permohonan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya; dan PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya