MKMK Usut Dugaan Pelanggaran Hakim Soal Putusan Batas Usia

Putusan batas usia capres cawapres karpet merah buat Gibran?

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menindaklanjuti adanya berbagai laporan dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi. Laporan itu memang mengalir, menyusul adanya keputusan kontroversial terkait batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengatakan pihaknya menerima setidaknya tujuh laporan perihal putusan tersebut.

"Perihal yang mereka ajukan adalah dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," kata dia dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2023).

1. MKMK akan periksa dan adili Hakim Konstitusi

MKMK Usut Dugaan Pelanggaran Hakim Soal Putusan Batas UsiaGedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Enny memastikan, MKMK dibentuk sebagai otoritas yang akan memeriksa dan mengadili hakim konstitusi. Apabila ditemukan pelanggaran dalam kode etik dan pedoman perilaku, maka bisa saja hukuman dijatuhkan kepada hakim.

"MKMK terbentuk karena memang salah satunya karena perintah dari undang-undang untuk pembentukan MKMK sebagai bagian dari kelembagaan yang memang dimintakan oleh undang-undang, khususnya pasal 27A untuk kemudian memeriksa, termasuk kemudian di dalamnya mengadili kalau memang terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran. Termasuk, juga kalau ada temuan di situ," tutur Enny.

Baca Juga: Prabowo-Gibran Daftar Capres-Cawapres ke KPU 25 Oktober 2023

2. Laporan terkait karpet merah buat Gibran?

MKMK Usut Dugaan Pelanggaran Hakim Soal Putusan Batas UsiaGedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)

Laporan dugaan pelanggan kode etik dan pedoman perilaku hakim ini disampaikan sejumlah pihak usai MK mengabulkan gugatan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan itu, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama pernah atau sedang menjadi kepala daerah.

"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang memiliki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman, Senin (16/10/2023).

Usai dikabulkannya putusan itu, Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat mendorong Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai bacawapres mendampingi bacapres Prabowo Subianto. Banyak pihak yang menilai putusan itu cacat secara hukum. Bahkan, sejumlah lapisan masyarakat terutama mahasiswa sempat menggelar demo sebagai bentuk protes terhadap fenomena yang disebut sebagai upaya dinasti politik.

Baca Juga: Pakar Ungkap Imbas Buruk jika MK Kabulkan Gugatan Usia Capres-Cawapres

3. Saldi Isra ungkap keanehan dikabulkannya gugatan

MKMK Usut Dugaan Pelanggaran Hakim Soal Putusan Batas UsiaHakim konstitusi Saldi Isra terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. (youtube.com/Mahkamah Konstitusi)

Hakim Konstitusi, Saldi Isra, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait dikabulkannya gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi ruang sidang, Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2023).

Saldi mengaku baru kali ini mendapat peristiwa aneh dan di luar nalar batas wajar karena Mahkamah berubah sikapnya hanya dalam waktu singkat. Padahal, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas, menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

"Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran wajar," ujar dia.

"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pemah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," lanjutnya.

Menurut dia, perubahan tersebut tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Saldi lantas mempertanyakan keputusan MK yang tiba-tiba mengabulkan gugatan 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?," imbuh dia.

Memang, ada empat hakim MK yang memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting opinion terkait putusan tersebut. Dua hakim yang setuju dengan putusan tersebut memiliki alasan berbeda yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh.

Kemudian, empat hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya