TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Uni Eropa Setop Danai Proyek WHO di Kongo Pasca Skandal Seks Terungkap

Total dana yang ditangguhkan mencapai Rp342 miliar

Bendera berkibar di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss (who.int)

Jakarta, IDN Times – Uni Eropa (UE) menangguhkan pendanaan untuk program World Health Organization (WHO) di Republik Demokratik Kongo, setelah skandal pelecehan seksual yang dilakukan staf WHO terungkap di negara tersebut.

Melalui surat tertanggal 7 Oktober yang dilihat Reuters, setidaknya ada lima program WHO yang ditangguhkan pembiayaannya, termasuk penanganan COVID-19 dan Ebola. Nilai penangguhannya lebih dari 20,7 juta euro (sekitar Rp342 miliar).

Ketika dikonfirmasi Reuters, Komisi Eropa berharap keputusan itu bisa menjadi momentum untuk meningkatkan perlindungan dan memperbaiki cara kerja WHO.

"Komisi untuk sementara menangguhkan pembayaran dan akan menahan diri dari pemberian dana baru terkait dengan kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh WHO di Republik Demokratik Kongo. Langkah ini tidak mempengaruhi pendanaan UE untuk operasi WHO di tempat lain," katanya.

Baca Juga: Pasca Skandal Seksual di Kongo, WHO Janji Lakukan Reformasi Organisasi

1. Berikut desakan Uni Eropa untuk WHO

Ilustrasi markas pusat di WHO, Jenewa, Swiss (www.who.int)

Penangguhan UE meningkatkan tekanan diplomatik pada WHO dan direktur jenderalnya, Tedros Adhanom Ghebreyesus, untuk mengambil tindakan lebih lanjut atas pelanggaran dan kelalaian manajemen.

Pejabat WHO tidak segera memberikan komentar saat dihubungi.

Sekitar 83 pekerja bantuan, seperempat dari mereka dipekerjakan oleh WHO, terlibat dalam pelecehan seksual selama epidemi Ebola di Kongo, demikian tertuang dalam laporan komisi independen.

Salinan surat UE juga dikirim ke Code Blue Campaign, bagian dari Aids-free World, kelompok pengawas yang bertujuan untuk mengakhiri impunitas atas pelanggaran seksual yang dilakukan oleh personel sipil dan militer Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ada pun desakan UE sebagaimana tertera dalam surat tersebut adalah WHO harus melindungi dan memberikan kompensasi kepada korban, membenahi proses rekrutmen di Kongo termasuk pemeriksaan latar belakang, dan memastikan tersangka tidak lagi bekerja sebagai kelompok bantuan atau tidak dipekerjakan oleh PBB.

2. Kerja WHO dalam menangani pelecehan seksual dinilai lamban

Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Direktur pencegahan dan tanggapan WHO terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual, Gaya Gamhewage, mengatakan bahwa laporan komisi independen menyulut banyak perempuan untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi sepanjang krisis Ebola di Kongo pada 2018-2020.

Kemudian, Gaya menegaskan bahwa otoritas Kongo akan dilibatkan untuk penyelidikan dan WHO juga telah mengirim 83 file kasus ke penyelidik PBB di New York, demikian diberitakan CNA.

Paula Donovan, co-director AIDS-Free World dan Code Blue Campaign-nya, menyayangkan mekanisme WHO yang gagal untuk mengungkap semua pihak yang terlibat.

“Ini adalah langkah mundur yang sangat besar. WHO memperlakukan lusinan kejahatan kekerasan yang dituduhkan terhadap personel dan pejabat tingginya sendiri sebagai pelanggaran sederhana terhadap aturan PBB. Jika pemerintah membiarkan PBB lolos begitu saja, ini akan menjadi kemenangan yang solid bagi impunitas PBB,” terangnya.

"Seluruh proses memperkuat gagasan palsu bahwa personel dan pejabat senior PBB berada di atas hukum," tambah dia.

Baca Juga: WHO: Kemunculan Wabah Meningitis di RD Kongo

Verified Writer

Andi IR

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya