5 Fakta 'Terorisme Sperma', Kejahatan Seksual di Korsel
Korea Selatan dikritik karena lemahnya UU terkait ini
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kriminalitas seksual, hingga kini termasuk salah satu momok kejahatan paling menakutkan bagi masyarakat, khususnya kaum perempuan. Tetapi di beberapa negara, hal itu sayangnya masih dianggap sebagai sesuatu yang 'tabu' untuk dibicarakan. Hukum yang berlaku bagi para pelaku pun seringkali jauh dari kata setimpal dan tidak sedikit yang dinilai 'melenceng' dari tuduhan.
Korea Selatan termasuk salah satu negara yang mana kasus-kasus semacam itu tengah menjadi topik hangat dalam beberapa waktu terakhir. Telah banyak dikritik karena lemahnya undang-undang dan putusan pengadilan terkait kejahatan seksual, negara itu kini dihadapkan pada gelombang baru ketika elemen masyarakat mulai bergerak untuk menuntut keadilan. Salah satu pemicunya adalah 'tren' kejahatan meresahkan yang disebut sebagai "terorisme sperma". Apakah itu?
1. Kasus-kasus "terorisme sperma"
"Semen terrorism" atau yang bisa diartikan sebagai terorisme sperma/terorisme air mani/teror onani, adalah sebuah istilah kejahatan seks khusus yang tengah mencuri perhatian besar di Korea selatan. Istilah itu merujuk pada serangkaian kasus dimana tersangka pria tega melakukan ejakulasi terhadap 'barang-barang' milik wanita.
Salah satu kasus yang menonjol adalah kisah perbuatan keji seorang mahasiswa pascasarjana, terhadap teman perempuan sekelasnya yang terjadi di tahun 2018. Selama sepuluh bulan, siswa tersebut melakukan total 54 tindakan asusila seperti diam-diam mengoleskan air mani-nya ke riasan make up korban, meninggalkan jejak air liur di sikat giginya, mencuri pakaian dalamnya untuk melakukan masturbasi, serta mencampurkan dahak, obat pencahar, afrodisiak dan air mani ke dalam secangkir kopi milik korban secara berulang kali.
Pada 2019, kasusnya dibawa ke pengadilan usai seorang teman menemukan buku harian pelaku yang merinci perbuatan keji tersebut. Mirisnya, semua tindakan itu semata-mata ia lakukan hanya karena cintanya ditolak.
Menurut laporan dari berbagai media, kasus-kasus serupa sebenarnya banyak ditemukan di seluruh negeri dan secara umum, mulai bergerak menjadi sebuah tren kejahatan khusus. Korban yang rata-rata adalah perempuan, kerap menjadi obyek pelampiasan hasrat seksual dengan cara yang sangat menjijikkan. Bahkan diantaranya, kerap terjadi di ruang publik.
Baca Juga: Kejahatan Kebencian di AS Tertinggi dalam 12 Tahun
Editor’s picks
Berdasarkan undang-undang di Korea Selatan, agar suatu tindakan dapat diakui sebagai kejahatan seks maka harus ada klaim kekerasan atau intimidasi di dalam laporannya. Misalnya pencabulan, pemerkosaan, atau yang terbaru seks digital maupun online.
Menurut Psikolog kejahatan forensik sekaligus profesor Lee Sue-jung dari Kyonggi University, alasan mengapa sulit untuk melabeli perbuatan tersebut sebagai kejahatan seks disebabkan oleh kompleksitas kasusnya, karena unsur-unsur seperti niat pribadi dan trauma mental sulit dibuktikan di pengadilan. “Mudah [bagi polisi] untuk melacak tersangka karena ada DNA yang jelas dalam air mani,” tetapi, “lebih sulit untuk membuktikan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sengaja, terutama ketika seorang tersangka dapat membuat alasan bahwa mereka tidak memiliki niat," katanya, dilansir dari VICE World News.
Baca Juga: Parlemen Korea Selatan Loloskan RUU yang Membatasi Google-Apple
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.