TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tanpa Data yang Jelas, COVID-19 Menyerang Suriah dengan Ganas 

Ketika virus masuk ke negara dengan konflik peperangan

Ilustrasi foto menampilkan anak Suriah ketika sedang dipasangkan masker. Twitter.com/DECScotland

Damaskus, IDN Times – Negara Suriah yang dikuasai oleh pemerintahan, dilaporkan tengah berada dalam situasi pandemi yang sangat mengkhawatirkan setelah lonjakan kasus COVID-19 diyakini meningkat secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Dengan rumah sakit yang penuh sesak dan kurangnya kapasitas yang tersedia, media AFP merilis pada Jumat pekan lalu (7/08/2020) bahwa para petugas medis menyatakan penyebaran virus ditengah masyarakat bisa jadi lebih cepat daripada yang dapat diuji oleh klinik.

Selama sembilan tahun Suriah telah berada dalam situasi perang yang mengakibatkan sektor kesehatan rusak akibat pemboman. Petugas medis di sana banyak diantaranya yang ikut terluka di pertempuran. Dalam mengobati pasien, mereka juga lebih cenderung terbiasa menangani luka trauma. Penanganan virus di Suriah pun dianggap buruk dengan jumlah kasus yang terdata, diyakini lebih tinggi dari yang terterta.

1. Meski ada perang, kegiatan di Suriah tidak pernah benar-benar ‘lumpuh’ sampai munculnya COVID-19 

Ilustrasi foto menampilkan anak Suriah ketika sedang dipasangkan masker. Twitter.com/DECScotland

Pada bulan Juni lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sempat mengatakan pihaknya ‘prihatin’ dengan penyebaran COVID-19 di Suriah karena melemahnya sistem kesehatan dan infrastruktur yang buruk akibat konflik yang ada. Tudingan tersebut, ditolak oleh Menteri Kesehatan Suriah, Nizar Yaziji, yang mengatakan bahwa perang bukan menjadi penyebab melumpuhnya tanggapan negara dalam penanganan, tetapi sanksi Barat terhadap pemerintah-lah yang melakukannya.

"Ada kesulitan besar untuk mendapatkan ventilator karena sanksi yang telah dijatuhkan," kata Yaziji, mengklaim bahwa hal itu telah membuat Suriah tidak dapat  mengimpor obat-obatan dan menandatangani kesepakatan dengan perusahaan farmasi atau membayar pemasok dari luar negeri, meskipun PBB dan negara-negara termasuk Rusia dan Tiongkok telah memberikan bantuan medis langsung ke negara itu. 

Dampak sosial ekonomi akibat COVID-19 kemungkinan akan semakin memperburuk kebutuhan substansial yang ada di seluruh negeri. Lebih dari 80% rakyat Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi pandemi sempat menyebabkan banyak toko-toko dan aktivitas berhenti selama berhari-hari. Sesuatu yang bahkan belum pernah terjadi selama perang melanda. Hal itu pun diungkapkan oleh warganya pada bulan Maret lalu, kepada laman berita The New Arab.

“Kami telah melewati masa-masa sulit selama perang, tetapi tidak pernah dalam hidup, saya melihat pasar dan toko ditutup selama berhari-hari seperti saat ini,” kata Ahmad, seorang pedagang di kota Damaskus.

“Kita mungkin menuju perang lainnya yang berbeda. Melawan musuh yang tersembunyi,” lanjutnya.

Seorang pemuda bernama Mustafa juga mengatakan bahwa ia tidak pernah menyadari seberapa berbahaya situasi yang ada, sampai kemudian kuliahnya ditangguhkan. “Damaskus sibuk dan dipenuhi semangat, meskipun terlihat seolah mati karena terdapat tembakan dan peluru nyasar. Tetapi sekarang dengan adanya virus corona, kota ini benar-benar lumpuh," ungkapnya. 

2. Data resmi terkait kasus COVID-19 di Suriah diyakini berbeda jauh dari kenyataannya

Foto satelit yang dirilis oleh "Syria in Context" menampakkan lahan pemakaman besar. (Najha Cemetery, June 27, 2020. Satellite image ©2020 Maxar Technologies.)

Berdasarkan data yang dirilis saat ini oleh World O Meters pada Selasa, 9 Agustus 2020, tercatat ada 1.255 kasus positif COVID-19 di Suriah dengan angka kematian mencapai 52 jiwa. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Tetapi data resmi yang tertera dan diberikan oleh kementerian kesehatan, diyakini tidak benar-benar mencatatkan jumlah sebenarnya. Hal itu disampaikan oleh seorang dokter kepada AFP. Ia mengatakan, "Jumlah kasus resmi hanya mencerminkan mereka yang dirawat di rumah sakit, bukan orang yang terinfeksi yang mungkin tinggal di rumah."

Para dokter juga mengungkapkan kekhawatiran tinggi karena kasus virus berkembang dengan sangat cepat dari sebelumnya, menyebabkan fasilitas umum penuh dan melebihi kapasitas hingga tidak dapat menerima pasien baru.

"Ini sangat menakutkan," kata Dr. Nubugh al-Awa, dekan fakultas kedokteran Universitas Damaskus."Banyak orang pergi ke rumah sakit yang dikelola pemerintah tetapi sayangnya semua kamar penuh," tulisnya pada sebuah unggahan di halaman Facebook. Ia menambahkan, "Pasien dalam kondisi buruk tidak dirawat di unit perawatan intensif kecuali pasien lain meninggal."

Sementara itu, sebuah studi analisis baru-baru ini dirilis oleh Syria In Context dengan manampilkan gambar satelit  adanya pemakaman besar yang digali dalam beberapa pekan terakhir. Kuburan-kuburan tersebut diduga kuat merupakan pemakaman untuk para korban COVID-19 dan bahwa ada sekitar 85.000 kasus yang dicurigai di Damaskus saja. Para penulis menyebut perkiraan mereka 'konservatif', dengan virus yang juga diyakini tersebar luas di Latakia, Aleppo, Deir Ezzor dan Sweida.  Kurangnya peralatan pelindung pribadi dan alat penguji di seluruh Suriah telah membuat sulit untuk menilai skala sebenarnya dari wabah tersebut. 

Baca Juga: Perang dan COVID-19 Mengepung, Suriah Gelar Pemilu Parlemen

Verified Writer

Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya