TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Negara yang Lakukan Referendum di Tahun 2020  

Didominasi referendum konstitusi 

Suasana demo di Chile tahun 2019 lalu. Unsplash/Sebastián Navarro

Referendum atau penentuan pendapat rakyat bisa dilakukan untuk berbagai macam tujuan. Tidak hanya perubahan status wilayah, negara bisa melakukannya untuk menentukan sebuah keputusan politik yang berdampak besar bagi warga seperti amandemen konstitusi dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan agar keputusan yang diambil mencerminkan aspirasi rakyat.

Referendum bisa dilakukan kapan saja. Namun, sepanjang 2020 ini setidaknya ada enam negara yang melakoninya. Mana saja? 

1. Chile  

Warga Chile merayakan hasil referendum konstitusi di Santiago. Unsplash/Elias Arias

Tahun 2019 lalu warga Chile membanjiri jalan menuntut keadilan dan mengkritik pedas pemerintahan Sebastian Pinera. Setahun berselang, tuntutan pendemo akhirnya dikabulan dan dilaksanakanlah referendum konstitusi baru. Dilansir dari Al Jazeera,  Warga Chile diberi pilihan untuk mempertahankan konstitusi sejak zaman diktator Pinochet atau membuat konstitusi baru yang isinya akan dirumuskan dewan perwakilan rakyat dengan komposisi yang seimbang antara anggota perempuan dan laki-laki, ditambah perwakilan dari warga indigenous.  

Di tengah wabah Covid-19, warga Chile dengan antusias datang ke TPS pada Minggu (25/10) untuk menyalurkan suara mereka. Diikuti protokol kesehatan yang ketat, pemilih harus mengenakan masker, berbaris dengan jarak aman, dan membawa pena sendiri. Hasilnya sebagian besar memilih untuk membuat konstitusi baru. Pasca pengumuman warga merayakannya di jalanan. 

Baca Juga: Swiss Berencana Lakukan Referendum UU Bisnis Komoditas 

2. Italia  

Kertas suara yang dipakai dalam referendum parlemen Italia pada September 2020. Instagram.com/larepubblica

Italia melaksanakan referendum konstitusi untuk menentukan komposisi parlemen pada Senin (21/09). Pilihannya apakah warga setuju jika parlemen Italia dipangkas dari jumlah semula. Laporan BBC menyatakan hampir 70 persen warga setuju.

Dengan begitu, 945 anggota parlemen dan senator yang sudah ada akan dipangkas menjadi 600 saja. Dampaknya akan cukup besar pada anggaran. Namun, pihak yang kontra khawatir hal ini akan mengurangi kekuatan parlemen dalam pemerintahan Italia dan akhirnya memperlemah demokrasi. Hasil referendum ini akan segera diimplementasikan sebelum pemilu 2023 mendatang.

3. Aljazair  

Seorang pria tampak membawa bendera Aljazair. Unsplash/Nasro Azaizia

Sama dengan Chile, warga Aljazair menuntut perubahan konstitusi untuk memperkuat parlemen dan memberikan partisipasi lebih bagi warga dalam proses politik. Demo selama berbulan-bulan di tahun 2019 dipicu oleh rencana mantan Presiden Bouteflika untuk memperpanjang masa pemerintahannya. Sejak Desember tahun lalu, jabatan Presiden Aljazair pun ditempati Abdelmadjid Tebboune. Tebboune mengabulkan tuntutan rakyat dan memberikan kesempatan warga untuk berpartisipasi dalam referendum konstitusi. 

Pada Sabtu (01/11), warga Aljazair bisa menyalurkan aspirasinya. Menurut liputan Reuters, draft konstitusi baru yang diusulkan akan mencakup pembatasan masa jabatan Presiden menjadi dua periode serta penguatan posisi parlemen dan Perdana Menteri dalam pemerintahan. Meski persentase partisipasi warga dalam referendum ini cukup rendah, hasilnya sebagian besar setuju dengan amandemen konstitusi tersebut. 

4. Swiss

Seseorang mengibarkan bendera di Hari Nasional Swiss. Instagram.com/houseofswitzerland

Swiss adalah negara yang menerapkan demokrasi langsung. Dengan begitu, tiap akan memutuskan sebuah kebijakan, pemungutan suara akan dilaksanakan. Tahun ini referendum dilaksanakan pada Senin (28/09) untuk memutuskan haruskah Swiss mengakhiri perjanjian free movement dengan negara-negara Uni Eropa. Meski bukan anggota Uni Eropa, letak Swiss yang strategis membuatnya melakoni perjanjian pergerakan bebas dengan negara-negara tetangganya, terutama di bidang perdagangan dan imigrasi. 

Pencetus kebijakan ini adalah Swiss People's Party yang ingin Swiss memiliki kontrol lebih terhadap perbatasannya. Dikutip dari BBC, 62 persen warga ternyata menolak kebijakan tersebut dan lebih senang jika Swiss mempertahankan perjanjian bilateralnya dengan Uni Eropa. 

5. Selandia Baru 

Chloe Swarbrick adalah salah satu politisi yang mendukung referendum tentang legalisasi ganja di Selandia Baru. Instagram.com/chloe.swarbrick

Pada Sabtu (17/10) lalu, Selandia Baru melaksanakan referendum tentang dekriminalisasi kepemilikan ganja dan praktik euthanasia. Legalisasi ganja diusulkan Partai Hijau yang menganggap bahwa kriminalisasi ganja problematik. Kebanyakan orang yang terjerat berasal dari suku Maori. Dengan catatan kriminal tersebut, akses mereka akan pekerjaan yang layak, pendidikan, dan kesempatan bepergian makin tipis dan senjang dibandingkan warga non-Maori.

Dikutip dari Newshub, Chloe Swarbrick, juru bicara Partai Hijau menambahkan bahwa ganja lebih tepat dikategorikan sebagai isu kesehatan daripada kriminal. Namun, ia tidak menampik bahwa  tetap akan ada konsekuensi di balik legalisasi ganja tersebut nantinya. Selain masalah ganja, isu lain yang diangkat dalam referendum adalah praktik euthanasia. Praktik medis yang memungkinkan seorang dokter mengakhiri hidup pasien atas permintaan pasien sendiri.

Biasanya karena harapan hidupnya kecil. Legalisasi euthanasia ini dipandang sebagai kebijakan yang sangat Barat dan liberal, tetapi punya banyak pendukung di Selandia Baru. Hasilnya warga Selandia Baru setuju melegalkan euthanasia, tetapi tidak dengan ganja. 

Baca Juga: Hasil Awal Referendum, Selandia Tolak RUU Legalisasi Ganja

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya