TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perempuan Myanmar Anti-Junta Jadi Target Pelecehan di Medsos

Pro-pemerintah bahkan serukan penangkapan terhadap mereka 

ilustrasi perempuan memegang handphone (unsplash.com/Priscilla Du Preez)

Jakarta, IDN Times - Para perempuan Myanmar, yang mengekspresikan penentangan terhadap kekuasaan militer, kerap menjadi sasaran pelecehan online dari para pendukung pemerintah. Pelapor disebut mendapatkan berbagai serangan, di antaranya ancaman penangkapan, kekerasan, pemerkosaan, dan kematian.

Dalam penelitian yang dilakukan dan dipublikasi oleh organisasi hak asasi manusia, Myanmar Witness, pelecehan bermotivasi politik ini meningkat hingga lima kali lipat sejak junta militer mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021. Adapun jumlah unggahan kasar paling banyak ditemui di aplikasi Telegram.

“Sebagian besar unggahan kasar ditulis oleh akun pria yang mendukung kudeta militer Myanmar dan menargetkan wanita yang menentang kudeta,” demikian laporan yang dirilis pada Rabu (25/1/2023).

Baca Juga: Sejak Junta Berkuasa, Penjualan Opium Myanmar Mencapai Rp29 Triliun

1. Serangan online bertujuan untuk membungkam yang melawan penguasa

Menurut penelitian tersebut, bentuk pelecehan yang paling sering digunakan adalah doxxing, yaitu menyebarkan informasi pribadi seseorang, seperti alamat dan nomor telepon, secara online tanpa persetujuan orang tersebut. Bahkan, 28 persen dari doxxing menyertakan seruan kepada otoritas militer Myanmar agar menangkap perempuan dan/atau menyita properti mereka.

Penyerangan ini membuat para perempuan mundur dari kehidupan publik dan menghindar dari diskusi publik, baik online maupun offline. Mereka juga dilaporkan hidup dalam ketakutan, kesulitan dalam bergaul dengan teman dan keluarga, serta mengalami perasaan malu dan depresi.

“Pelecehan online dan serangan doxxing memiliki efek membungkam dan menyebabkan perempuan mundur dari kehidupan publik,” kata laporan itu.

Mereka yang menjadi sasaran pelecehan tersebut tampaknya dipilih karena memberi tanggapan positif kepada kelompok-kelompok di Myanmar yang menentang kekuasaan militer.

2. Kaum pro-pemerintah juga sebarkan narasi disinformasi seksual terhadap perempuan

Pengguna media sosial yang pro-militer kerap menggunakan bahasa yang melecehkan perempuan demi mempermalukan dan membungkam mereka yang aktif secara politik.

Para perempuan ini digambarkan sebagai koruptor moral, tidak murni secara rasial, dan mangsa seksual untuk kelompok anti-pemerintah PDF (People’s Defence Force) dan pemimpin organisasi bersenjata etnis serta orang asing. 

“Tidak memanusiakan bahasa dan citra seksual mencerminkan taktik yang diketahui telah digunakan oleh militer Myanmar untuk merendahkan populasi Rohingya,” demikian disebutkan dalam laporan itu.

Menurut Myanmar Witness, temuan dari penelitian tersebut kemungkinan besar hanya sebagian kecil. Kasus pelecehan online yang kini terjadi dinilai jauh lebih besar, lantaran penelitian tersebut hanya berdasarkan unggahan media sosial yang tersedia untuk umum saja.

Unggahan yang dibagikan di grup media sosial tertutup tidak dapat dinilai, dan kebijakan akses data Facebook tidak mengizinkan analisis kuantitatif berskala besar.

“Tanpa akses penuh ke data platform, mustahil untuk secara akurat menilai skala yang sebenarnya atau prevalensi penyalahgunaan. Ini sangat relevan untuk platform media sosial yang paling banyak digunakan di Myanmar, Facebook," kata studi tersebut. 

Baca Juga: Kekejaman Junta Myanmar Disokong Perusahaan Barat

Verified Writer

Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya