TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

BioNTech Ingin Buat Vaksin Malaria Berbasis mRNA

Pada 2019 ada 229 juta kasus malaria

Ilustrasi penelitian pengembangan vaksin malaria. (Unsplash.com/National Cancer Institute)

Berlin, IDN Times - Perusahaan farmasi BioNTech, yang berbasis di Jerman pada hari Senin (26/7/2021) menyampaikan ingin membuat vaksin malaria dengan teknologi berbasis mRNA. BioNTech dengan mitranya Pfizer, yang bebasis di AS telah sukses mengembangkan vaksin COVID-19 dengan teknologi mRNA.

1. Kasus malaria banyak terjadi di Afrika

CEO BioNTech Ugur Sahin terkait pengembangan vaksin malaria berbasis mengatakan kepada Associated Press pada hari Senin 

"Kami sudah bekerja pada HIV dan tuberkulosis, dan malaria adalah indikasi besar ketiga (penyakit) dengan kebutuhan medis yang tinggi yang belum terpenuhi. Ini memiliki jumlah orang yang terinfeksi yang luar biasa tinggi setiap tahun, jumlah pasien yang meninggal, penyakit yang sangat parah dan kematian yang tinggi pada anak kecil.”

Dilansir Associated Press, menurut WHO penyakit malaria paling banyak terjadi di benua Afrika. Berdasarkan data WHO, ada sekitar 229 juta kasus malaria di seluruh dunia pada tahun 2019. Badan kesehatan global itu memperkirakan bahwa 409 ribu orang meninggal karena malaria pada 2019, dengan anak-anak di bawah usia 5 tahun menyumbang 67 persen kematian.

Sahin mengakui bahwa pengembangan masih dalam tahap yang sangat awal dan belum ada jaminan keberhasilan. Namun, dia mengatakan bahwa perusahaan yakin ini merupakan waktu yang tepat mengembangkan vaksin malaria berbasis mRNA setelah perusahaan sukses membuat vaksin melawan virus corona dengan teknologi mRNA.

Baca Juga: Studi: Vaksin mRNA Cegah COVID-19 hingga 91 Persen

Dilansir Reuters, saat ini vaksin malaria berlisensi pertama dan satu-satunya di dunia, Mosquirix, dikembangkan oleh GlaxoSmithKline, yang telah melakukan uji klinis selama bertahun-tahun di beberapa negara Afrika. Namun, vaksin tersebut hanya sekitar 30 persen yang efektif.

Para peneliti di Institut Jenner Oxford yang dipimpin oleh Adrian Hill, salah satu ilmuwan utama di balik pengembangan vaksin COVID-19 Oxford-AstraZeneca, juga berniat mengembangkan vaksin malaria baru yang potensial yang telah menunjukkan harapan dalam uji coba selama setahun.

BioNTech menyampaikan bahwa perusahaan telah menilai beberapa kandidat vaksin yang menargetkan protein circumsporozoite, serta antigen baru yang ditemukan dalam penelitian pra-klinis dan memilih yang paling menjanjikan untuk uji klinis, direncanakan uji klinis dimulai pada akhir tahun 2022.

Perusahaan farmasi asal Jerman itu saat ini sedang mencari lokasi produksi vaksin mRNA yang sesuai di Afrika, baik dengan mitra atau sendiri, dan akan menerima dukungan dari Komisi Eropa, yayasan milik Bill Gates dan organisasi lainnya.

Petinggi BioNTech lainnya, Sierk Poetting mengatakan perusahaan akan mendanai penelitian dan produksi awal vaksin itu sendiri dan beralih ke mitranya untuk mendapatkan dukungan dengan uji coba skala besar, serta menyiapkan infrastruktur, seperti mengisi dan menyelesaikan situs dan memberikan pelatihan lokal.

Selain mengembangkan vaksin malaria BioNTech saat ini juga sedang berencana untuk memulai uji klinis untuk menguji vaksin tuberkulosis pada tahun 2022 dan dengan mitranya sedang mengembangkan vaksin terhadap sembilan penyakit menular yang berbeda serta untuk kanker.

2. Vaksin malaria satu-satunya di dunia hanya efektif sekitar 30 persen

Ilustrasi orang yang disuntik vaksin malaria. (Unsplash.com/Mufid Majnun)

Baca Juga: Studi: Vaksin mRNA Cegah COVID-19 hingga 91 Persen

Verified Writer

Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya