TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pengadilan Prancis Buka Kembali Kasus Pembunuhan Pada 1991

Penyelidikan forensik menemukan bukti baru

Ilustrasi palu pengadilan. (Unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)

Jakarta, IDN Times - Omar Raddad, seorang imigran asal Maroko yang kini berusia 59 tahun, diputuskan bersalah pada 1994 atas pembunuhan pada 1991 terhadap majikannya Ghislaine Marchal, yang berusia 65 tahun.  Raddad mengklaim dia tidak bersalah dalam pembunuhan itu dan dibebaskan pada 1998, tapi namanya masih tercoreng, masih dianggap sebagai pembunuh.

Karena hal itu Raddad pada bulan Juni mengajukan banding untuk membersihkan namanya dan pada hari Kamis (16/12/2021) permintaannya untuk membuka kembali kasus ini desetujui oleh pengadilan setelah adanya bukti baru mengenai DNA.

1. Adanya kesalahan tata bahasa

Ilustrasi hakim di pengadilan. IDN Times/Sukma Shakti

Melansir dari BBC, dalam kasus ini Omar yang pada saat itu merupakan tukang kebun dituduh membunuh Marchal, seorang janda kaya raya yang menjadi majikannya. Tuduhan itu terjadi karena di tempat jasad Marchal ditemukan ada pesan tulisan dengan darah korban di pintu yang bertuliskan "Omar membunuhku", yang membuat Omar dianggap sebagai pelaku.

Namun, pesan dalam bahasa Prancis itu dianggap mengandung kesalahan tata bahasa yang mencolok. Dalam pesan itu menggunakan kata tuer untuk "membunuh", yang dianggap seharusnya yang tepat menggunakan kata tuee.

Karena kesalahan itu pengacara Raddad berpendapat pesan itu untuk menjebak kliennya, menurutnya korban sebagai seorang wanita kaya dan berpendidikan tidak akan pernah membuat kesalahan seperti itu.

Dalam persidangan kelurga korban yakin bahwa Raddad merupakan pembunuh, mengenai pesan itu keluarga korban mengatakan Marchal memiliki kebiasaan membuat kesalahan dalam tata bahasa.

Baca Juga: Jet Rusia Cegat Pesawat Militer Prancis di Laut Hitam

Melansir dari France 24, karena adanya pesan itu kasus ini telah membuat Raddad harus menghadapi persidangan dan pada 1994 pengadilan memutuskan Raddad bersalah dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.

Menurut penasihat hukumnya pada saat itu, Jacques Verges, kliennya dihukum karena dia berasal dari Afrika Utara, dengan membandingkannya dengan kasus Dreyfus, seorang kapten di militer, yang dituduh memata-matai Jerman pada seratus tahun lalu, tuduhan itu karena Dreyfus merupakan seorang Yahudi, saat itu di Prancis sedang berkembang ketidaksukaan terhadap orang Yahudi.

Kasus pembunuhan ini telah menjadi populer di Prancis dan banyak orang menganggap bahwa hukuman terhadap Raddad sebagai sikap diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh para imigran di Prancis.

Istri Raddad membela suaminya dengan mengklaim dia tidak mampu melukai lalat, tapi hakim mengatakan hal itu tidak mencegahnya mengetahui cara menggorok leher domba. Balasan hakim dianggap sebagai referensi terkait penyembelihan hewan saat hari raya Idhul Adha, Raddad merupakan imigran dari Maroko, negara Afrika Utara yang hampir semua penduduknya beragama Islam.

Anggapan Raddad tidak bersalah telah menekan pemerintah Prancis, termasuk dari Raja Maroko, Hassan II, yang meminta Raddad diampuni. Tekanan publik itu membuat presiden Prancis pada 1996, Jacques Chirac, meringankan sebagian hukuman Raddad, dua tahun kemudian dia dibebaskan dari penjara.

2. Ada anggapan putusan hukuman karena diskriminasi terhadap imigran

Ilustrasi palu pengadilan. (Unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)

Baca Juga: Parlemen Prancis Tetap Kunjungi Taiwan Walaupun Dimaki China

Verified Writer

Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya