TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Akademi Pertama untuk Transgender di Bangladesh Didirikan

Ratusan orang mendaftar

Santri Transgender belajar Islam di Madrasah Da'watul Qur'an, Bangladesh. (Twitter.com/Hooktin Digest)

Dhaka, IDN Times – Dari informasi pemerintah Bangladesh, mereka mengatakan ada sekitar 10.000 penduduk transgender di negara tersebut. Mereka para transgender adalah penduduk jenis kelamin ketiga dan pemerintah sudah mengakuinya.

Penduduk transgender disebut Hijra di Asia Selatan, khususnya di Bangladesh. Meski pemerintah sudah mengakui keberadaan mereka, tapi diskriminasi masih sering terjadi. Sikap sosial masyarakat yang konservatif, masih membuat kelompok Hijra sulit untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan.

Akhir tahun lalu, tepatnya pada bulan November, sebuah madrasah dibuka untuk menampung Hijra supaya mendapatkan pendidikan agama Islam. Madrasah tersebut terletak di ibukota Dhaka dan dibiayai murni oleh swasta. Nama madrasah itu adalah Madrasah Jenis Kelamin Ketiga Da’watul Qur’an.

1. Santri yang belajar tanpa batasan usia

Salah satu kelompok Hijra di Bangladesh. (Twitter.com/Moncho)

Kelompok transgender atau Hijra di banyak negara sering mendapatkan diskriminasi. Hal itu juga tak terkecuali di Bangladesh. Sebagian besar Hijra di negara Asia Selatan itu adalah muslim karena memang Islam adalah agama yang paling dominan di Bangladesh.

Para Hijra dari desa yang sering mendapatkan perundungan dan diskriminasi, ada yang mencoba bunuh diri. Banyak diantaranya pergi ke ibukota, dan bergabung dengan orang-orang yang sama. Mereka menghidupi diri dengan bernyanyi dan menari di pesta-pesta pernikahan. Tapi tak sedikit juga yang mengemis atau jadi pekerja seks komersial.

Karena sering jadi objek perundungan dan diskriminasi, banyak dari kelompok Hijra tidak memiliki akses ke pendidikan dan tersisih. Sebagian besar dari mereka buta aksara. Karena itulah, mediang pengusaha bernama Ahmad Ferdous Bari Chowdhury yang sangat ingin mendidik Hijra, meninggalkan dana pendidikan. 

Uang tersebut kemudian digunakan untuk mendirikan yayasan yang akhirnya berdirilah Madrasah Da’watul Qur’an, gedung dengan tiga lantai di Kamrangirchar, sekitar 17 kilometer arah selatan pusat ibukota Dhaka.

Di madrasah tersebut, tidak ada batasan usia bagi santrinya. Baik anak-anak maupun dewasa, diperbolehkan untuk ikut belajar. Mohammad Abdul Aziz Hussaini, sekertaris pendidikan dan pelatihan madrasah mengatakan kepada BBC, “Siapa pun dapat diterima di sini segera setelah seorang transgender diidentifikasi, tidak peduli batasan usianya.”

Baca Juga: Pemerintah Keluarkan Panduan Kurikulum Darurat bagi Sekolah Madrasah

2. Ada sekitar 150 santri di madrasah

Komunitas Hijra sedang belajar Islam di Da'watul Qur'an. (Twitter.com/ShadesofNoir)

“Tidak ada yang mau mempekerjakan kami. Jika kami memiliki pendidikan, kami bisa bekerja di tempat yang lebih baik. Tidak ada sistem pendidikan (untuk kami),” kata Shilpy, seorang santri baru di madrasah Da’watul Qur’an. Karena itulah, banyak dari Hijra masih melakukan pekerjaan menyanyi dan menari di pesta.

Awalnya, sekitar 40 Hijra yang mendaftar. Tapi kemudian terus bertambah menjadi sekitar 150 santri Hijra. Mereka semua yang menjadi santri di Da’watul Qur’an mendapatkan pendidikan Islam secara gratis dan karena itulah kemungkinan banyak yang tertarik.

“Semua orang sangat responsif, menghargai dan menerima inisiatif kami untuk mengajarkan al-Qur’an kepada anggota komunitas Hijra,” kata Abdur Rahman Azad, pendiri sekolah tersebut kepada CBS News. Para ketua kelompok Hijra di beberapa komunitas juga menghubungi sekolah tersebut dan menanyakan apakah mau mengajar mereka juga.

Tujuan utama dari madrawah Da’watul Qur’an adalah untuk memberikan pendidikan teknis berbasis ketrampilan kepada komunitas Hijra. Selain itu, pendidikan agama Islam seperti membaca Qur’an dan bahasa Arab juga ditekankan agar komunitas Hijra semakin memahami agama.

Pendidikan lain seperti bahasa Inggris, bahasa Bangla juga kelas ketrampilan senior akan segera diajarkan. Madarasah ingin agar komunitas Hijra bisa mencari nafkah sendiri dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya.

“Mereka adalah manusia sama dan memiliki tempat penghormatan serta hak yang sama seperti manusia lainnya, menurut al-Qur’an,” kata Azad menegaskan.

3. Kerinduan berislam

Komunitas Hijra sedang belajar Islam di Da'watul Qur'an. (Twitter.com/UT Pride Center)

Stigma buruk kepada kelompok Hijra, entah itu sebagai penghibur, pengemis, penipu, perampok atau pekerja seks komersial telah membuat banyak diantara mereka semakin terdiskriminasi. Meski begitu, banyak yang benar-benar ingin mendalami Islam.

Bithi, salah seorang santri di Da’watul Qur’an adalah seorang sarjana ekonomi berusia sekitar 30-an tahun. Dia lari dari desa dan pernah mencoba bunuh diri. Dia juga lari karena diskriminasi pekerjaan dan gaji di tempatnya bekerja.

Kepada reporter Vice Bithi mengaku “Ini adalah inisiatif yang bagus untuk kami. Kami tidak bisa membayangkan. Kami berharap bisa belajar al-Qur’an dan mati dengan semangatnya,” katanya. Mitu, yang lebih senior dari pada Bithi mengatakan “Setiap jiwa akan merasakan kematian. Selama kita terlahir sebagai Muslim, kita harus memiliki pendidikan agama.”

Madrasah Da’watul Qur’an adalah sekolah pertama di Bangladesh yang mengakomodir kelompok Hijra. Dalam tiga bulan sejak November berdiri, delapan sekolah serupa sudah didirikan. Kelas yang fleksibel membuat banyak Hijra tertarik karena tidak mengganggu aktivitas mereka mencari nafkah.

Baca Juga: Biden Cabut Larangan Transgender Militer Era Trump

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya