TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Macron Ancam Tarik Pasukan Prancis Usai Kudeta Mali

Kudeta mengarahkan Mali condong ke "Islamisme radikal" 

Pada 30 Mei 2021, Emmanuel Macron kecam kudeta di Mali dan ancam akan tarik pasukan dari negara tersebut. Ilustrasi (Twitter.com/IGIHE)

Bamako, IDN Times - Belum genap dalam setahun, Mali telah mengalami kudeta sebanyak dua kali. Kudeta tersebut dipimpin oleh petinggi militer yang bernama Assimi Goita. Dengan kudeta yang terbaru, situasi politik di Republik Mali semakin tidak stabil.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengecam kudeta tersebut. Macron juga mengancam akan menarik pasukan militernya yang berada di wilayah itu karena tidak selamanya pasukan Prancis akan terus berada di Afrika Barat.

Prancis memiliki agenda panjang untuk membantu negara-negara bekas jajahannya. Lebih dari 5.000 personel militer Prancis melakukan operasi Barkhane di wilayah yang terdiri beberapa negara yakni Burkina Faso, Chad, Mauritania, Niger dan Mali. Pasukan prancis membantu pemerintah setempat mengatasi pasukan pemberontak.

1. Macron tidak akan dukung negara tanpa transisi demokrasi

Presiden Mali yang bernama Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane digulingkan oleh Assimi Goita, seorang petinggi militer angkatan darat yang menjabat sebagai Wakil Presiden. Presiden, Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan juga dicopot jabatannya dan dilucuti kekuasaannya. Peristiwa itu terjadi pada 24 Mei 2021.

Peristiwa kudeta tersebut telah memicu banyak negara mengecam, termasuk Uni Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengkhawatirkan bahwa kudeta di Mali akan membuat negara itu semakin mengarah kepada kekuasaan jaringan islamis radikal.

Karena itu, melansir dari laman Al Jazeera, Macron mengancam akan menarik pasukan Prancis yang ada di negara tersebut. "Islamisme radikal di Mali dengan tentara kita di sana? Tidak pernah," kata Macron kepada mingguan Le Journal du Dimanche.

Presiden Prancis tersebut juga menambahkan bahwa ia tidak dapat mendukung sebuah negara yang tidak ada lagi legitimasi atau transisi demokratis.

Kudeta di Mali yang baru saja terjadi membuat negara yang terkurung oleh daratan itu kembali menuju ketidakstabilan politik sejak kudeta pada Agustus tahun lalu.

Baca Juga: Macron Akui Tanggung Jawab Prancis di Genosida Rwanda 1994

Dalam beberapa dekade, Prancis telah banyak membantu negara-negara bekas jajahannya di Afrika Barat. Bantuan itu termasuk personel militer yang ikut mengamankan pemerintahan dari serangan para pemberontak.

Menurut BBC, bantuan kadang juga berupa serangan udara dari pasukan Prancis yang ditujukan kepada pasukan pemberontak yang mengacau.

Pada tahun 2014 ketika jaringan pasukan jihadis dan pasukan pemberontak semakin meningkatkan operasi di wilayah gurun Sahel dan mengancam negara-negara Burkina Faso, Chad, Mauritania, Niger dan Mali, Prancis mengirim lebih dari 5.000 personel militer dalam operasi Barkhane.

Operasi Barkhane tersebut memiliki tujuan untuk menekan pasukan jihadis dan pasukan pemberontak yang terus mengganggu.

Akan tetapi saat ini karena Mali terus dilanda ketidakstabilan politik, Macron memperingatkan bahwa pasukannya tidak akan selamanya berada di Afrika Barat. Macron sebelumnya juga telah memperingatkan Presiden Bah Ndaw yang digulingkan, bahwa ia akan menarik pasukannya jika Mali beralih menjadi Islamisme radikal.

2. Macron ancam akan menarik pasukan dari Mali dan Afrika Barat

Baca Juga: Macron Akui Tanggung Jawab Prancis di Genosida Rwanda 1994

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya