TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Presiden Komisi Eropa Senang AS Kembali ke Perjanjian Paris 

AS keluar dari Perjanjian Paris di era Donald Trump

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen (instagram.com/ursulavonderleyen)

Jakarta, IDN Times – Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan senang dengan keputusan yang diambil pemerintahan Presiden Joe Biden untuk membawa Amerika Serikat (AS) kembali ke dalam Perjanjian Paris atau Paris Agreement.

“Saya senang AS sekarang telah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris,” katanya saat berpidato di The Davos Agenda World Economic Forum (WEF), Selasa (26/1/2021).

Baca Juga: Ancaman Keluar Paris Agreement, Luhut Ogah Disamakan dengan Trump

1. Rencana AS kembali bergabung dengan Perjanjian Paris

Presiden Amerika Serikat dari Demokrat Joe Biden mengunjungi Barrio Cafe saat tur bus usaha kecil sambil berkampanye di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, Kamis (8/10/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque)

Presiden Biden telah menandatangani perintah eksekutif untuk bergabung kembali dengan perjanjian iklim Paris di hari pertamanya menjabat sebagai presiden AS, yaitu pada 20 Januari. Departemen Luar Negeri AS juga telah mengirimkan dokumen yang diperlukan untuk kembali bergabung ke Perjanjian Paris.

Isi dari dokumen tersebut adalah pernyataan bahwa AS akan bergabung kembali pada 19 Februari, 107 hari setelah keluar dari perjanjian itu. Sebelumnya, AS keluar dari perjanjian tersebut di bawah arahan Mantan Presiden Donald Trump.

Baca Juga: Belum Ditemukan Reaksi Syok pada Vaksinasi COVID-19

2. Meminta regulasi yang lebih besar untuk perusahaan teknologi

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen tiba untuk konferensi tingkat tinggi Uni Eropa pertama setelah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di Brussels, Belgia, Sabtu (18/7/2020) (ANTARA FOTO/Olivier Matthys/Pool via REUTERS)

Dalam kesempatan tersebut, von der Leyen juga membahas berbagai hal lainnya, termasuk peran perusahaan teknologi dalam menegakkan demokrasi. Ia mengatakan kepada The Davos Agenda bahwa media sosial menggerogoti masyarakat dan menganjurkan agar dibuat regulasi yang lebih besar terkait perusahaan teknologi terbesar di dunia.

“Pada saat itu aktivis memperingatkan tentang model bisnis dari perusahaan teknologi besar dan konsekuensi bagi demokrasi kita dan mereka menjelaskan bagaimana hukum ekonomi media sosial menggerogoti struktur masyarakat kita dan bagaimana berita palsu dengan algoritma menyebar enam kali lebih cepat daripada berita nyata,” ujarnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya