TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aksi 812 dan Supremasi Melayu-Muslim di Mata Warga Negara Malaysia

IDN Times mewawancara warga Malaysia dari beberapa profesi

unsplash.com/chuttersnap

Kuala Lumpur, IDN Times - Puluhan ribu warga Malaysia berdemonstrasi di ibu kota pada Sabtu (8/12) atau disebut juga aksi 812. Mereka menolak rencana Perdana Menteri Mahathir Mohamad meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait hak asasi manusia. Salah satunya Konvensi Internasional untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD).

Kelompok oposisi terbesar, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang memotori massa agar turun ke jalan, mengaku khawatir ICERD mengancam hak istimewa lebih dari 60 persen populasi Bumiputera. Mayoritas adalah Melayu-Muslim yang menerima perlakuan paling spesial, terutama di bidang ekonomi.

1. Setelah secara tak langsung berjanji meratifikasi ICERD, Mahathir lalu membatalkannya

Mahathir Mohamad (ANTARA FOTO/Roman Pilipey/Pool via REUTERS)

Dilansir dari Malaysia Kini, Mahathir berpidato di Sidang Umum PBB pada September lalu. Ia berkata, "Malaysia yang baru akan mengadopsi prinsip-prinsip yang dipromosikan PBB". Lebih lanjut, ia menegaskan "dalam konteks ini juga, pemerintahan baru Malaysia berjanji untuk meratifikasi semua instrumen inti PBB yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia".

Rencana itu ditentang massa oposisi. Mahathir kemudian mengklarifikasi posisinya. Ia menjelaskan jika ingin meratifikasi ICERD, maka Pasal 153 dalam konstitusi Malaysia harus diamandemen terlebih dulu. "ICERD mempromosikan kebebasan dan sedikit diskriminasi," kata Mahathir seperti dikutip dari New Straits Times.

"Pasal 153 memberikan keistimewaan kepada penduduk asli yang artinya bagi beberapa orang ini bisa diinterpretasikan diskriminatif," tambahnya. Mahathir berpendapat konstitusi itu merupakan "kontrak sosial" yang disetujui oleh semua ras dan etnis di Malaysia. Amandemen pun tak mudah, kata dia, karena perlu dua pertiga suara parlemen yang tampak mustahil saat ini.

Baca Juga: Tulisan Lawas Stan Lee Soal Rasisme Ini Penting Buat Kita Resapi

2. Meski mengklaim "Malaysia baru," tapi sikap Mahathir soal supremasi Melayu-Muslim (Ketuanan Melayu) tidak berubah

Ilustrasi Malaysia (Pixabay)

Yang jadi pertanyaan bagi pihak luar adalah mengapa Mahathir mengungkapkan rencananya di hadapan dunia untuk kemudian mengingkarinya begitu saja usai ada protes. Menurut Tham Seen Hau, Head of Content Planning and Production dari Malaysia Kini, sebenarnya Mahathir tidak benar-benar berniat menunjukkan perubahan.

"Mahathir belum pernah secara eksplisit mengubah pendiriannya soal supremasi Melayu meski dia hengkang dari UMNO tiga tahun lalu. Kenyataannya partai barunya, Partai Bersatu Pribumi, dipandang sebagai UMNO 2.0 sebab anggota-anggotanya adalah pribumi yang menjunjung hak serta kesejahteraan Bumiputera," ujar Tham Seen Hau kepada IDN Times.

Ada satu karakteristik yang cukup membedakan koalisi Pakatan Harapan (PH) yang saat ini berkuasa dibandingkan Barisan Nasional (BN) sebagai pendahulu. Mereka, kata Seen Hau, "terdiri dari partai dan politisi dengan posisi yang lebih beragam dan liberal terkait reformasi institusional".

Akan tetapi, walau mereka mengklaim ingin "meningkatkan status sosial dan ekonomi kelompok minoritas," sebenarnya tak ada wacana yang "menyentuh hak istimewa warga Melayu atau Bumiputera". Artinya, tak ada rencana untuk menghapuskan Ketuanan Melayu di Malaysia.

3. Keputusan untuk tak meratifikasi ICERD dilatarbelakangi faktor politik berbasis ras dan agama

IDN Times/Sukma Shakti

Kuat dugaan sikap putar balik diambil Mahathir karena ia tak sanggup kehilangan dukungan kelompok mayoritas. Apalagi demonstrasi itu jadi panggung untuk UMNO dan PAS. Seen Hau menilai itu jadi "upaya untuk melemahkan representasi PH dari ras terbesar di negara ini" yaitu Melayu.

Chee Han Lim, peneliti dari lembaga think tank Penang Institute yang mendukung ratifikasi ICERD, menjelaskan kepada IDN Times bahwa faktor politik mempengaruhi keputusan Mahathir. "PH tak mendapat suara mayoritas Melayu saat Pemilu Raya. Kini UMNO dan PAS bekerja sama dalam agenda politik komunal Melayu-Muslim dan menyokong kampanye anti-ICERD."

Mahathir juga bercita-cita membuat simpatisan UMNO merapat ke kubunya. "Karena tidak populernya ICERD saat ini di kalangan warga Melayu setelah kampanye aktif PAS dan UMNO, Mahathir tak bisa memaksakan ICERD ketika di saat bersamaan ingin pendukung UMNO bergabung ke partainya," tambah Chee.

Alasan lain adalah adanya pemilu di Negeri Sembilan yang merupakan basis warga Melayu. Ia tak ingin kesempatan ini menguntungkan UMNO dan PAS. "Mahathir tak mau sentimen anti-ICERD memanas sehingga koalisinya kalah saat pemilihan dan justru akan meningkatkan kepercayaan diri lawan politiknya."

4. Ketuanan Melayu sudah ditanam kuat oleh penguasa untuk mengamankan suara

IDN Times/Sukma Shakti

Malaysia memang unik. Pemerintah menarasikan etnis Melayu dan agama Islam sebagai kombinasi identitas yang wajib dimiliki oleh penduduk asli. Joseph Chinyong Liow dalam bukunya Piety and Politics: Islamism in Contemporary Malaysia menulis hubungan etnis dan agama sangat erat.

Satu contoh adalah istilah populer untuk merujuk kepada mualaf adalah "masuk Melayu". Edmund Terence Gomez menulis dalam bukunya, Politics in Malaysia: The Malay Dimension, ada dua alasan mengapa Ketuanan Melayu dipertahankan oleh penguasa.

Pertama, kebijakan afirmatif untuk mengutamakan Melayu-Muslim terbukti jadi jalan penting bagi UMNO untuk mengamankan dukungan kelompok mayoritas. Kedua, para politisi telah mengeksploitasi alokasi sumber daya untuk mengonsolidasi posisi di internal partai. Nampaknya pola pikir yang sama juga diadopsi oleh pemerintah saat ini.

5. Para pendukung ratifikasi ICERD meyakini negara menyalahgunakan tujuan Ketuanan Melayu

IDN Times/Sukma Shakti

Salah satu pendukung ICERD, Azmi Sharom yang merupakan profesor Ilmu Hukum Universiti Malaya, mengatakan kepada IDN Times, "Kebijakan afirmatif di Malaysia sesungguhnya untuk membantu etnis Melayu dan penduduk asli Sabah serta Sarawak yang miskin."

Namun, imbuhnya, ada kecurigaan bahwa itu juga jadi alat politik yang dipakai untuk membuat warga Melayu terus bergantung kepada pemerintah. "Ini didukung oleh fakta bahwa tampaknya tak ada usaha untuk meneliti secara jujur apakah kebijakan afirmatif berhasil dan melihat apakah ini masih dibutuhkan," tambahnya.

Umar, seorang warga negara Malaysia lainnya punya pendapat serupa. "Membiarkan hak istimewa Melayu terus berjalan itu tidak benar sebab hanya memperburuk situasi. [Ini] mendorong perilaku malas karena mereka bergantung pada hak tersebut," ujar Umar.

6. Kelompok minoritas merasakan diskriminasi karena ras mereka

IDN Times/Sukma Shakti

Berdasarkan data kependudukan dari Departemen Statistik Malaysia, 67 persen populasi merupakan Bumiputera."Malaysia tidak biasa karena kebijakan afirmatif ditargetkan kepada mayoritas, bukan minoritas," tutur Chee. 

Hampir 24,6 persen adalah etnis Tionghoa. Sebesar 7,3 persen adalah keturunan India. Sisanya 0,7 persen merupakan etnis-etnis lain. Chee mengaku bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas pun terjadi.

"Beberapa teman-temanku dari etnis Tionghoa dan India tak bisa masuk ke kampus pilihan karena 'kuota' yang diatur khusus untuk Melayu/Bumiputera. Fakta ini juga terjadi untuk posisi di pelayanan publik, terutama di level kepemimpinan dan manajemen yang diisi oleh Melayu/Bumiputera."

Lalu, soal pembelian tanah dan properti. Menurut Chee, sudah jadi fakta bahwa Bumiputera menikmati hak istimewa dengan mendapatkan diskon serta masuk ke daftar yang lebih diutamakan. Sedangkan bagi Umar ini berdampak negatif karena "melahirkan permusuhan antar ras ketika semua ras tak mendapatkan perlakuan setara".

Baca Juga: Menlu Jerman: Kita Malas Perangi Rasisme dan Sepelekan Demokrasi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya