TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ancaman Lingkungan Dominasi Laporan Risiko Global 2020

PBB ingatkan pemerintah segera ambil tindakan nyata

Sebuah keluarga berdoa di dekat reruntuhan patung Budha tanpa kepala, yang muncul di bendungan yang mengering akibat kekeringan, di Lopburi, Thailand, pada 1 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun/File Photo

New York, IDN Times - Ancaman lingkungan menjadi isu paling dominan dalam Global Risk Report (Laporan Risiko Global) 2020 yang dirilis oleh World Economic Forum menjelang pertemuan elit di Davos, Swiss, pada 21 Januari 2020.

Pada 2019 lalu, dari lima risiko paling besar, tiga di antaranya adalah masalah lingkungan hidup, sedangkan dua sisanya merupakan pencurian data dan serangan siber. Kali ini, seluruhnya adalah persoalan lingkungan mulai dari cuaca ekstrem, bencana alam sampai bencana lingkungan buatan manusia.

1. Kegagalan penanganan perubahan iklim diyakini berdampak paling besar

Warga berjalan di St. Mark's Square yang tergenang banjir saat gelombang pasang di Venesia, Italia, pada 23 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri

Menurut survei tersebut, risiko nomor satu dalam hal dampak dan nomor dua berdasarkan kemungkinan terjadinya dalam 10 tahun ke depan adalah "kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim".

Lima tahun terakhir tercatat sebagai periode terhangat bumi. Di saat bersamaan, berbagai bencana seperti kekeringan, kebakaran hutan dan tornado kian sering terjadi. Kekhawatiran lain adalah soal mencairnya es di Kutub Utara.

Namun, Dewan Arktik yang dibebani tanggung jawab untuk menjaga kawasan itu justru gagal menyebutkan perubahan iklim saat bertemu pada Mei 2019 di Finlandia.

Alih-alih menjaga, Rusia justru semakin agresif dalam mengeksploitasi potensi minyak bumi dan gas alam di sana dengan mengumumkan investasi miliaran dolar pada Oktober 2019.

2. Hilangnya keanekaragaman hayati berdampak masif kepada manusia

Sebuah keluarga berdoa di dekat reruntuhan patung Budha tanpa kepala, yang muncul di bendungan yang mengering akibat kekeringan, di Lopburi, Thailand, pada 1 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun/File Photo

Keseimbangan alam adalah faktor penting bagi ketahanan hidup semua makhluk hidup, termasuk manusia. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, keanekaragaman hayati justru semakin terancam.

Hilangnya keberagaman dalam spesies, antara spesies, dan dalam suatu ekosistem berlangsung kian cepat dibandingkan periode kapan pun dalam sejarah manusia. Menurut data World Economic Forum, walau populasi penduduk dunia sebesar 7,6 miliar jiwa dan hanya merepresentasikan 0,01 persen dari seluruh makhluk hidup, tapi yang dilakukan sangat merugikan.

Manusia telah menyebabkan hilangnya 83 persen dari keseluruhan mamalia liar dan separuh tumbuh-tumbuhan dunia. Saat ini diperkirakan setidaknya ada sekitar dua juta spesies. Jika kecepatan kerusakaan sekarang dibiarkan, setiap tahun kita akan kehilangan 200 sampai 2.000 spesies.

3. PBB ingatkan bahayanya kehilangan keanekaragaman hayati

Pemandangan memperlihatkan banjir bandang saat hujan lebat terjadi di Israel, di Nahal Arugot dekat dengan Ein Gedi, Israel, pada 9 Januari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Ronen Zvulun

Elizabeth Maruma Mrema, Pelaksana Sekretaris Eksekutif PBB untuk Konvensi Keanekaragaman Biologis, mendorong negara-negara agar segera mengambil tindakan. Dilansir The Guardian, Mrema menegaskan kehancuran ekosistem pendukung kehidupan seperti batu karang dan hutan hujan tropis sama dengan membiarkan manusia hidup dalam "dunia yang kosong" dengan konsekuensi-konsekuensi "bencara besar".

"Hidup manusia bergantung kepada keanekaragaman hayati dalam cara yang tak selalu terlihat atau diapresiasi," ujar Mrema. "Kesehatan manusia utamanya bergantung kepada ekosistem: ketersediaan air bersih, bahan bakar, pangan. Semua ini adalah prasyarat bagi kesehatan dan kehidupan manusia."

4. Masyarakat di pedalaman sangat mengandalkan alam untuk bertahan hidup

Tanker udara milik Pemadam Kebakaran New South Wales (LAT) menjatuhkan bubuk api di kebakaran Morton Fire di belukar dekat perumahan di Penrose di New South Wales Southern Highlands, selatan Sydney, Australia, pada 10 Januari 2020. ANTARA FOTO/AAP Image/Dan Himbrechts/via REUTERS

Kegagalan dalam menghentikan hancurnya keanekaragaman hayati juga akan sangat mengancam masyarakat di pedalaman. Mereka mengandalkan ekosistem lokal yang beragam untuk mendapatkan makanan dan memenuhi kebutuhan lainnya.

Sebanyak 60 persen populasi warga pedalaman menggunakan obat-obatan tradisional berbahan baku tumbuhan untuk menyembuhkan sakit. Ironisnya, walau jumlah mereka kurang dari lima persen penduduk dunia, tapi mereka melindungi 80 persen keanekaragaman hayati.

Baca Juga: [LINIMASA] Indonesia Bawa 50 Negosiator di KTT Perubahan Iklim COP 25

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya