TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Facebook Dikritik Karena Telah Mencederai Demokrasi, Apa Sebabnya?

Kritik datang dari beberapa media!

Shutterstock via digitaltrends.com

Jika dulu Facebook hanya digunakan untuk chatting dan melihat foto teman-teman, sekarang fungsi media sosial tersebut sudah bergeser. Bagi mayoritas pengguna Facebook, mereka memperoleh informasi dari apapun yang muncul di halaman depan. Dengan kata lain, mereka tidak secara khusus mengunjungi portal berita tertentu, tapi hanya mengandalkan Facebook sebagai sumber informasi. Kritikus Facebook menilai hal ini berbahaya.

Konten di Facebook tidak dikontrol oleh sistem algoritme, melainkan orang-orang yang mereka bayar.

forbes.com

Mark Zuckerberg mengelak bila Facebook disebut sebagai perusahaan media. Dia dengan tegas menyebut Facebook adalah perusahaan teknologi. Lebih lanjut, Zuckerberg menyatakan Facebook merupakan sebuah wadah netral yang membantu penggunanya berbagi informasi.

Vox, salah satu media ternama asal Amerika Serikat, membantah pernyataan Zuckerberg dengan memberi argumen bahwa Facebook memutuskan kebijakan editorial setiap hari. Dalam reportasenya, Vox meyakini meski sebagian besar konten Facebook di halaman depan itu ditentukan oleh sistem algoritme. Namun, terdapat tangan-tangan manusia di baliknya yang menentukan rangkaian konten mana saja untuk muncul di bagian teratas.

Rangkaian tersebut didasarkan pada engagement, yaitu seberapa banyak sebuah konten dibagi dan disukai pengguna Facebook. Kemudian, mereka juga memprediksi konten jenis apa yang pengguna suka. Contohnya, bila seseorang sering mencari informasi tentang terorisme, maka konten serupa yang akan selalu muncul di urutan paling atas halaman depan Facebook dengan tingkat frekuensi tinggi.

Vox juga mengutip kolom tulisan jurnalis Slate, Will Oremus, yang menulis kritikan cukup pedas tentang satu kesalahpahaman yang meliputi bagaimana sistem algoritme bekerja. Selama ini banyak orang tidak memahami bagaimana konten-konten tertentu muncul di posisi teratas di halaman depan Facebook mereka. Oremus menulis:

Sistem algoritme Facebook itu cacat karena otak-otak di baliknya pada dasarnya adalah manusia. Manusia memutuskan data apa yang boleh lolos ke halaman Facebook, apa yang Facebook bisa lakukan dengan data tersebut, dan hasil apa yang Facebook ingin dapatkan dari mengolah data itu.

Baca Juga: [OPINI] Tragisnya Standar Ganda Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Tanpa disadari, pengguna Facebook secara tidak langsung mengizinkan manusia-manusia tersebut memilihkan informasi apa yang akan diterima.

technobuffalo.com

Vox dengan tegas menyatakan bahwa prioritas utama Facebook adalah engagement. Artinya, perusahaan tersebut akan memilih konten yang banyak orang klik, suka dan bagikan dengan teman-teman mereka. Tujuannya semata-mata agar para pengguna kembali lagi ke halaman tersebut. Vox menyebut ini kebijakan ini tak berbahaya bila pengguna Facebook hanya melihat foto-foto bayi. Namun, ini mengkhawatirkan bila mereka menjadikan Facebook sebagai satu-satunya sumber informasi.

Mengapa? Sebab Facebook beroperasi seperti tabloid gosip yang hanya memunculkan informasi-informasi dengan judul bombastis dan sensasional yang mampu menarik perhatian pengguna mereka tanpa mengkhawatirkan apakah suatu artikel itu seimbang, akurat, atau penting. Oktober lalu, mantan penasihat media sosial Presiden Obama, Caleb Gardner, mengungkapkan betapa berbahayanya metode tersebut. Ketika memberi seminar di Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Caleb berkata:

Kemungkinan besar kita memperoleh berita dari Facebook. 44 persen orang dewasa di Amerika Serikat mendapat berita di situs tersebut, dan 61 persen di antaranya merupakan kelompok millenials (mereka yang lahir antara tahun 1982 hingga 2004). Jika kamu tidak khawatir akan kenyataan ini, kamu tidak tahu sistem algoritme Facebook.

Jurnalis online akhirnya tergoda membuat konten yang sensasional tanpa memerhatikan fakta, riset mendalam dan unsur penting atau tidaknya sebuah informasi.

guardianlv.com

Tidak bisa dipungkiri bahwa para jurnalis online berusaha memaksimalkan jumlah pembaca artikel mereka. Salah satu cara paling instan adalah dengan membuat konten yang bisa dengan cepat memperoleh perhatian pembaca (atau pengguna Facebook). Meminjam kalimat Vox, sensasionalisme mengundang banyak pembaca, sedangkan akurasi tidak. Akibatnya, jurnalis pun membuat konten bersifat viral dengan judul bombastis dan tidak terlalu memperhatikan fakta.

Padahal, konten-konten tersebut justru menurunkan nilai dari perusahaan media itu sendiri. Memang masih banyak media ternama yang sangat ketat dalam menjaga standar berita mereka. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa godaan untuk membuat konten sensasional dan tanpa riset menyeluruh akan selalu ada. Fungsi media yang tadinya sebagai penjaga gerbang informasi agar berimbang dan akurat pun menjadi goyah.

Baca Juga: Petisi Agar Pengedit Video Ahok Diproses Hukum Mencapai 50 Ribu Dukungan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya