TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Final Europa League dan Konflik Armenia-Azerbaijan

Henrikh Mkhitaryan pun gagal tampil di final Europa League

instagram.com/micki_taryan

Baku, IDN Times - Sepak bola sulit dilepaskan dari politik. Ini yang sedang menimpa pemain Arsenal, Henrikh Mkhitaryan, menjelang final Europa League. Gelandang berumur 30 tahun tersebut dipastikan batal membela timnya yang akan berhadapan dengan Chelsea pada Rabu (29/5) di Baku, Azerbaijan.

Penyebabnya tak lain karena konflik antara Azerbaijan dan Armenia. Mkhitaryan merupakan kelahiran Armenia. Jika ia menginjakkan kaki di Baku Olympic Stadium, ada ketakutan keselamatannya akan terancam. Apalagi fans Arsenal, sama seperti pendukung Chelsea, hanya mendapatkan alokasi 6.000 tiket. Padahal, kapasitas stadion mencapai 68.000 kursi.

1. Konflik Armenia-Azerbaijan bermula pada 1988

instagram.com/visitazerbaijan

Hubungan kedua negara menegang usai wilayah Nagorno-Karabakh mendeklarasikan kemerdekaan dari Azerbaijan pada 1988. Nagorno-Karabakh memutuskan untuk berpisah di momen ketika Uni Soviet mulai runtuh menjelang akhir Perang Dingin. Armenia mendukung keputusan tersebut. Ini membuat Azerbaijan naik pitam.

Bahkan, pada 1994, perang antara kedua negara menyebabkan sekitar 30.000 melayang. Sejak saat itu, Armenia yang memegang kontrol atas Nagorno-Karabakh. Tentu saja Azerbaijan tidak terima. Ini juga karena secara de jure, dunia internasional mengakui Nagorno-Karabakh sebagai bagian resmi dari Azerbaijan.

Baca Juga: Hattrick Pierre-Emerick Aubameyang Bawa Arsenal ke Final Liga Europa

2. Pada 2016, konflik berdarah pecah kembali

unsplash.com/Georgi Danielya

Setelah kedua pihak sepakat melakukan gencatan senjata, konflik berdarah kembali meletus di kawasan Nagorno-Karabakh pada 2016. Para pengamat menilai konflik kali ini merupakan yang terburuk sejak 1994. Sebanyak 200-an orang dari kedua belah pihak tewas dalam konflik yang berlangsung selama empat hari di bulan April.

Menurut laporan BBC, Rusia yang menjual senjata kepada Armenia dan Azerbaijan sempat menyerukan agar keduanya segera melakukan gencatan senjata lagi. Azerbaijan sendiri mengklaim bahwa pihaknya lah yang pertama kali jadi sasaran tembak dan granat dari Armenia.

3. Revolusi Beludru di Armenia melahirkan harapan bagi relasi dengan Azerbaijan

unsplash.com/Iora Ohanessian

Dua tahun berselang, Armenia mulai mengubah konstelasi politik dalam negerinya. Nikol Pashinyan memimpin Revolusi Beludru pada 2018 yang kemudian membuat Serzh Sargsyan mundur sebagai Perdana Menteri Armenia. Masyarakat dan tentara bergabung dalam Revolusi Beludru tersebut.

Ini karena Sargsyan sebelumnya sudah menjadi presiden selama dua periode dan mampu mengubah konstitusi. Pashinyan, seorang mantan wartawan, akhirnya menjadi perdana menteri. Dipilihnya Pashinyan mengubah pendekatan Armenia terhadap Azerbaijan. Ia bahkan bertemu dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev beberapa kali.

4. Harapan tersebut masih belum terwujud menjadi kenyataan

unsplash.com/Krists Luhaers

Walau ada perkembangan dari segi komunikasi di tingkat elit, tapi pengamat dari lembaga think tank Carnegie Europe, Thomas De Waal, menilai harapan agar Armenia dan Azerbaijan benar-benar berdamai masih belum terwujud. Kepada The Economist, De Waal memandang masing-masing pihak belum menunjukkan indikasi bersedia berkompromi.

Pemilihan Baku sebagai lokasi final Europa League juga menimbulkan pertanyaan. Pelatih Arsenal, Unai Emery, mengaku tidak tahu sama sekali tentang situasi politik di negara bekas Uni Soviet itu. Dan kemungkinan besar, ini juga yang terjadi kepada mayoritas pembuat kebijakan di UEFA.

Baca Juga: Arsenal Hadapi Chelsea di Final Liga Eropa, Ini 4 Fakta Menariknya!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya