TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jurnalis Masih Jadi Salah Satu Profesi Paling Berbahaya

Tak ada berita seharga nyawa

Unsplash/Michael Ramey

Paris, IDN Times - Reporters Without Borders (RSF) mengeluarkan laporan yang berisi jumlah jurnalis yang hilang, ditahan, disandera dan tewas di seluruh dunia sepanjang 2017. Berdasarkan laporan tersebut, bisa disimpulkan bahwa jurnalis masih merupakan salah satu pekerjaan yang paling memiliki risiko.

Baca juga: Tanpa Keterangan yang Jelas, Myanmar Tahan Jurnalis Reuters

1. Kekerasan terjadi karena mereka melaksanakan tugas

Unsplash/Michael Ramey

Dalam situs resmi RSF disebutkan bahwa mereka yang menghadapi bahaya adalah jurnalis profesional, pekerja media dan jurnalis warga yang memainkan peran penting dalam produksi berita dan informasi terutama di negara dengan rezim opresif dan yang sedang berperang.

RSF juga berani menjamin bahwa kekerasan yang mereka alami memang disebabkan langsung oleh profesi yang mereka jalani. Untuk jurnalis yang tewas, RSF dengan percaya diri tinggi membedakan antara yang memang menjadi target dan yang terbunuh saat bertugas di lapangan.

2. Ada 326 jurnalis yang dipenjara di seluruh dunia

Unsplash/G. Crescoli

Data yang berhasil dikumpulkan oleh RSF menunjukkan bahwa sepanjang 2017 ada 326 jurnalis yang berada di balik jeruji. Angka itu terdiri dari 202 jurnalis profesional, 107 jurnalis warga dan 17 pekerja media. 95 persen (310 orang) dari mereka adalah laki-laki, sedangkan lima persen (16 orang) merupakan perempuan.

Jumlah itu lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya saat ada 348 jurnalis yang ditahan (187 jurnalis profesional, 146 jurnalis warga dan 15 pekerja media). Sejauh ini, penjara untuk para jurnalis yang terbesar adalah Tiongkok.

Ada 52 orang yang mendekam di tahanan. Rezim yang keras terhadap profesi ini juga mengakibatkan menurunnya jumlah jurnalis warga di sana. Di belakang Tiongkok ada Turki (43 orang), Suriah (24 orang), Iran (23 orang) dan Vietnam (19 orang). 

3. 54 jurnalis disandera di beberapa negara

Unsplash/Seth Doyle

Sepanjang 2017 ada peningkatan jumlah jurnalis yang ditawan dan dijadikan sandera sebanyak dua persen bila dibandingkan pada 2016 lalu. Di tahun ini ada 54 jurnalis yang disandera di mana 44 di antaranya adalah jurnalis profesional, tujuh merupakan jurnalis warga, serta tiga sisanya adalah pekerja media.

Dilihat dari segi jenis kelamin, mayoritas adalah laki-laki (98 persen banding dua persen). Lalu, 85 persen dari mereka merupakan jurnalis nasional, sedangkan sisanya memegang paspor asing. Para jurnalis ini disandera oleh aktor-aktor non-negara.

Mereka mengancam akan membunuh atau melukai mereka, atau menjadikan mereka alat untuk menekan pemerintah, organisasi atau kelompok tertentu. Motifnya bisa saja karena faktor politik, ekonomi, dan bahkan keduanya.

Empat negara menjadi lokasi penyanderaan mereka yakni Suriah (29 orang), Yaman (12 orang), Irak (11 orang) dan Ukraina (dua orang). Timur Tengah masih menjadi zona paling berbahaya bagi para jurnalis. Sampai saat ini ISIS menyandera 22 jurnalis.

Kemudian disusul oleh kelompok Houthi di Yaman sebanyak 11 orang. Sedangkan Al Qaeda, Al Nusra dan beberapa kelompok bersenjata menyandera lima orang. Sisanya, sebanyak 16 jurnalis, disandera oleh kelompok-kelompok yang tidak bisa diidentifikasi.

4. Dua jurnalis masih menghilang sampai detik ini

Unsplash/G. Crescoli

Saman Abbas, jurnalis Tribune.com asal Pakistan, menghilang sejak 7 Januari di negaranya. Ia adalah salah satu dari lima jurnalis yang diculik. Ketika yang empat lainnya dibebaskan, pendiri kelompok pembela HAM dan kebebasan beragama itu tidak kunjung diketahui keberadaannya. 

Salah satu mantan sandera yang sudah kabur keluar negeri menuding agensi intelijen Pakistan sebagai pihak yang bertanggungjawab. Namun, mereka membantah tudingan itu. Sedangkan tiga lainnya menolak memberitahu lokasi penyanderaan mereka.

Jurnalis kedua yang masih hilang adalah Utpal Das. Reporter senior dari situs berita purboposhchimbd.news itu menghilang sejak 10 Oktober lalu. Hilangnya Das membuat sekitar 100 jurnalis menuntut perdana menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, untuk mengintervensi kasus tersebut.

Baca juga: Kebebasan Pers Terancam, Indonesia Berada di Peringkat 124

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya