TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sudan Hapus Larangan Pindah Agama dan Konsumsi Alkohol bagi Non-Muslim

Sudan transisi ke demokrasi usai 3 dekade dikuasai diktator

Demonstrasi anti-militer di Khartoum, Sudan, pada 30 Juni 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah

Jakarta, IDN Times - Sudan berencana menghapus undang-undang yang melarang warga negara pindah agama dan akan mengizinkan non-Muslim untuk mengonsumsi alkohol sebagai bagian dari transisi menuju demokrasi.

Sebelumnya, Sudan dipimpin oleh diktator Omar al-Bashir yang berkuasa selama 30 tahun hingga terjadi kudeta pada April 2019 lalu. Selama masa tersebut, al-Bashir menggunakan Islam untuk menjustifikasi seluruh kebijakan-kebijakannya, termasuk pelanggaran hak dan kebebasan publik.

Baca Juga: Ini Kesepakatan Militer dan Oposisi Sudan Soal Masa Transisi 3 Tahun

1. Pemerintahan transisi berjanji akhiri aturan-aturan yang tak menjunjung HAM

Demonstrasi anti-militer di Khartoum, Sudan, pada 30 Juni 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah

Menteri Kehakiman Nasradeen Abdulbari mengatakan, Pemerintah Sudan yang sekarang akan meninggalkan seluruh undang-undang yang melanggar hak asasi manusia. Pengumuman tersebut disampaikan pemerintah seminggu usai puluhan ribu warga melakukan demonstrasi anti-militer dan menuntut percepatan reformasi.

"Sebagai pemerintah, pekerjaan kami adalah melindungi seluruh masyarakat Sudan berdasarkan konstitusi dan peraturan yang harus konsisten dengan Konstitusi tersebut," kata Abdulbari, seperti dikutip The New York Times.

Warga Sudan meminta agar pemerintah segera menghapus seluruh peraturan yang dibuat oleh rezim al-Bashir serta pemimpin sebelumnya, Gaafar al-Nimeiry. Di bawah kendali tangan besi dari kedua diktator itu, Pemerintah Sudan memberlakukan aturan di mana Islam dijadikan sumber kebijakan.

Ini membuat penduduk yang tidak menganut Islam, misalnya Kristen dan agama kebudayaan, menjadi korban diskriminasi dan pelanggaran HAM berat. Situasi tersebut akhirnya membuat Sudan Selatan memilih memerdekakan diri dan secara resmi menjadi negara baru pada 2011 lalu.

2. Aturan yang sebelumnya sangat mendiskriminasi dan menyakiti perempuan

Warga sipil berjalan melewati tulisan grafiti dalam bahasa Arab "Freedom, Peace, Justice and Civilian" di Khartoum, Sudan, pada 10 Juli 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah/File Photo

Salah satu peraturan paling kontroversial yang ada di Sudan sebagai hasil dari kepemimpinan al-Bashir adalah sunat perempuan. Berdasarkan data UNICEF pada 2014, sebanyak 86,6 persen perempuan berusia 15 sampai 49 tahun di negara itu terpaksa melakukan sunat.

Ini membuat Sudan sebagai satu dari sejumlah negara yang paling mengalami kemunduran perihal hak-hak perempuan. Apalagi sebelumnya, perempuan juga wajib mendapatkan izin dari suami atau saudara laki-laki ketika ingin melakukan aktivitas di luar rumah. 

Perempuan juga dilarang memakai pakaian yang dianggap terbuka. Bagi yang melanggar, hukumannya adalah mendekam di penjara atau membayar denda. Dalam aturan yang baru, pemerintah transisi yang berisi perwakilan sipil dan militer memutuskan mengakhiri praktik-praktik tersebut. 

Baca Juga: [FOTO] Bemalam di Trotoar: Kisah Pencari Suaka Asal Afganistan-Sudan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya