TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menlu Retno Minta Uni Eropa Hentikan Diskriminasi Produk Sawit RI

"Treat us fairly"

Menlu Retno Marsudi (Dokumentasi Kemenlu)

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta kepada Uni Eropa (UE) mengakhiri diskriminasi terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia. Ia mengatakan Indonesia tegas dalam menyikapi perlakuan diskriminatif itu, lantaran komoditas kelapa sawit adalah tulang punggung perekonomian RI. 

Berdasarkan data yang ia miliki, nilai ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke UE mencapai 23 miliar dolar AS atau setara Rp326,5 triliun pada 2019. Produk kelapa sawit, kata Menlu perempuan pertama di Indonesia itu, merupakan sumber pendapatan bagi petani kecil di Tanah Air.

"Namun, ada diskriminasi bahkan kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia, khususnya di Eropa. Oleh sebab itu, kami ingin melawan diskriminasi ini," kata Retno ketika berbicara di forum diskusi virtual Jakarta Food Security Summit 5, Kamis, 19 November 2020. 

Retno kemudian menghubungi Perwakilan Tinggi UE untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borell beberapa hari lalu. Dalam pembicaraan melalui telepon itu, ia menekankan kepada UE pentingnya membangun kemitraan yang lebih kuat dan menyelesaikan isu diskriminasi sawit Indonesia. 

"Uni Eropa kan sudah lama menjadi partner kita. Kita punya banyak sekali kesamaan pandangan di banyak isu internasional dengan Uni Eropa," tutur dia. 

Indonesia menuding UE telah memperlakukan produk kelapa sawit secara diskriminatif, karena adanya kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation. Kebijakan itu memasukkan minyak kelapa sawit dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk ke dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit produksi Indonesia. 

Bagaimana tanggapan Uni Eropa terkait tudingan bahwa mereka telah mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia?

Baca Juga: Nilai Kelapa Sawit Terus Didiskriminasi, Luhut Ancam Boikot Produk UE

1. Dubes Uni Eropa untuk Indonesia membantah ada larangan ekspor produk kelapa sawit ke Eropa

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam dan Timor Leste, Vincent Piket (Tangkapan layar diskusi FPCI)

Dalam diskusi menuju Global Town Hall, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, menepis adanya larangan ekspor produk kelapa sawit ke UE. Bahkan, menurutnya, berdasarkan data yang ada ekspor kelapa sawit ke UE angkanya tetap stabil. Piket tak membantah memang ada fluktuasi harga kelapa sawit.

"Kadang fluktuasi itu untuk produk kelapa sawit mentah (CPO) atau biodiesel yang terbuat dari sawit. Namun, nilai perdagangannya tetap stabil dan terjaga di angka 8 persen," ungkap Piket dalam diskusi yang digelar pada Rabu, 18 November 2020. 

Piket juga menggarisbawahi media di Tanah Air kerap keliru menangkap isu yang sebenarnya terjadi di UE. Menurut dia, ini semua terkait penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel. "Menurut anggota parlemen UE, biodiesel yang terbuat kelapa sawit tidak memenuhi kriteria kebijakan energi yang terbarukan," tutur dia. 

Piket mengatakan biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit tetap boleh masuk ke UE, namun 28 negara anggota tidak bisa menggunakannya untuk memenuhi kewajiban mereka mengurangi karbon dioksida (CO2). 

"Indonesia dan Malaysia sebagai produsen kelapa sawit menilai data itu keliru. Dari sanalah muncul isu adanya diskriminasi terhadap produk itu dan dipicu oleh UE," kata dia. 

Sementara, menurut penilaian dua akademisi yakni Elizabeth Robinson dan Herry Purnomo, usulan parlemen UE akan berdampak pada penurunan permintaan kelapa sawit. UE menargetkan kebijakan penghapusan biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit akan diterapkan pada 2030. 

Namun, Robinson dan Herry justru berpandangan bila produk kelapa sawit Indonesia tak bisa lagi digunakan untuk biodiesel, hal tersebut tidak berpengaruh banyak. Sebab, dari 2/3 ekspor produksi biodiesel Indonesia, hanya 1/5 yang ditujukan ke pasar UE. Mereka memprediksi bila akses pasar ke UE ditutup, maka pemerintah akan meningkatkan ekspor biodiesel ke Tiongkok dan India. 

"Justru dengan adanya larangan (biodiesel kelapa sawit) ke UE, akan membuat upaya Indonesia untuk menjaga perdagangan kelapa sawit dan hutannya tetap lestari, kembali ke titik nol. Sebab, pelanggan mereka saat ini (Tiongkok dan India) tidak terlalu mempermasalahkan mengenai lingkungan," tulis Robinson dan Herry di The Conversation

2. Indonesia gugat Uni Eropa ke WTO karena mendiskriminasi produk kelapa sawit

Ilustrasi perkebunan kelapa sawit (IDN Times/Sunariyah)

Tak terima dengan sikap Uni Eropa, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan membawa permasalahan tersebut ke Badan Perdagangan Dunia (WTO). Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada 15 Desember 2019 mengatakan, keputusan itu ditempuh usai berkonsultasi dengan banyak pihak. 

"Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi atau pelaku usaha produk kelapa sawit, dan setelah melalui kajian ilmiah," kata Agus. 

Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE di WTO, sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. 

Menurut Agus, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa (UE) melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation.

"Dengan gugatan ini, Indonesia berharap UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation, serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit," katanya.

Baca Juga: Perjuangkan Nasib Kelapa Sawit, Pemerintah RI Gugat Uni Eropa di WTO

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya