TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Presiden Emmanuel Macron Bantah Prancis Anti Terhadap Muslim 

"Karikatur (Charlie Hebdo) bukan program pemerintah" 

Presiden Emmanuel Macron (ANTARA FOTO/REUTERS/Photograph by Jimmy Beunardeau/Hans Lucas)

Jakarta, IDN Times - Presiden Emmanuel Macron membantah Prancis merupakan negara yang anti terhadap Muslim. Dalam wawancara pada akhir pekan lalu, Macron menekankan, majalah satir Charlie Hebdo tidak terafiliasi dengan Pemerintah Prancis. Artinya, pemerintah tidak mendukung agar Charlie Hebdo menggambar kartun yang menyerupai Nabi Muhammad, yang kini jadi pemicu aksi unjuk rasa besar-besaran di beberapa negara berpenduduk Muslim. 

"Karikatur itu bukan proyek yang didukung oleh pemerintah. Tetapi, dibuat oleh harian yang bebas (untuk mengekspresikan diri) dan independen. Mereka tidak terafiliasi dengan pemerintah," ungkap Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam wawancara eksklusif dengan stasiun berita Al Jazeera

Presiden berusia 42 tahun itu menyebut, publik banyak yang keliru memaknai sikap dan pernyataannya mengenai karikatur Charlie Hebdo dan Islam. Publik keliru karena ada banyak kalimatnya yang diplintir dan dibumbui kebohongan. 

"Saya bisa memahami sentimen yang sedang disampaikan saat ini dan saya menghormati mereka semua. Tetapi, Anda harus mengerti peran saya saat ini fokus untuk melakukan dua hal, pertama untuk mempromosikan rasa aman dan tenang, dan kedua, memastikan terjaminnya hak-hak ini (kebebasan berekspresi)," tuturnya. 

"Saya akan selalu membela kebebasan di negara saya untuk berbicara, menulis, berpikir dan menggambar," kata dia lagi. 

Penjelasan lebih lanjut disampaikan oleh Duta Besar Prancis di Indonesia, Olivier Chambard, dalam wawancara dengan harian Republika. Apa katanya mengenai kartun yang ditampilkan di Majalah Charlie Hebdo?

Baca Juga: Kecam Presiden Prancis Emmanuel Macron, Ini Pernyataan Lengkap Jokowi 

1. Presiden Macron tegaskan, yang dilawan bukan umat Muslim melainkan Islam paham radikal

Emmanuel Macron putuskan lockdown nasional kedua di Prancis. Ilustrasi (twitter.com/BFMTG)

Di dalam wawancara dengan Al Jazeera, Macron menegaskan, yang ia lawan bukan umat Muslim, tetapi Islam berpaham radikal. Ia mengatakan, individu dengan paham semacam ini menggunakan agama Islam sebagai pembenaran atas perbuatannya membunuh orang lain. 

"Saat ini, ada tindak kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah gerakan kaum ekstrimis dan orang-orang yang mengatas namakan Islam. Tentu saja ini menjadi masalah, sebab umat Muslim yang akan menjadi korban," tutur Macron. 

"Berdasarkan data, lebih dari 80 persen korban tindak kekerasan terorisme adalah umat Muslim dan ini menjadi permasalahan untuk kita semua," ujarnya lagi. 

Meski begitu, umat Muslim di Prancis tak sepenuhnya sepakat. Meski mereka mengecam tindak pembunuhan yang menimpa guru geografi, Samuel Paty, tetapi umat Muslim di negara itu juga khawatir akan menjadi target penyelidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Prancis.

Apalagi pemerintah kini semakin gencar mengawasi organisasi Islam dan masjid-masjid. Sebelumnya, Presiden Macron memerintahkan dilakukan pengawasan terhadap masjid yang menerima pendanaan dari organisasi asing.

2. Majalah Charlie Hebdo sering menerbitkan karikatur provokatif tidak hanya menargetkan Islam

Ilustrasi cover Majalah Charlie Hebdo Prancis (www.instagram.com/@charlie_hebdo_officiel)

Sementara, dalam tulisannya di harian Republika, Dubes Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan, Majalah Charlie Hebdo sudah terbit selama 50 tahun. Ia mengakui majalah itu kerap menerbitkan karikatur bersifat provokatif. Namun, Charlie Hebdo tidak hanya menyasar agama Islam, ada pula karikatur yang mengolok-olok agama dan instansi lain. 

"Majalah ini menerbitkan karikatur tentang berbagai keyakinan serta tiga agama monoteistik, tidak hanya tentang Islam. Beberapa karikatur antara lain menargetkan Paus dan agama Katolik," ungkap Dubes Chambard. 

Bahkan Majalah Charlie Hebdo, kata dia lagi, sudah bolak-balik dituntut ke pengadilan. Pengadilan di Prancis, lanjutnya, sudah pernah memvonis Charlie Hebdo bersalah lantaran menargetkan individu atau kelompok masyarakat. "Tapi, mereka (bukan divonis) karena mengolok-olok agama," tutur dia lagi.

Ia juga menjelaskan, dalam hukum di Prancis, ada perbedaan yang jelas antara ruang yang diberikan untuk memperdebatkan dan mempertanyakan semua sistem pemikiran, agama, atau kepercayaan. Namun, bila menyangkut ujaran kebencian, maka hal tersebut tidak bisa didiamkan. 

"Yang terakhir ini yang sedang diperangi menurut hukum," katanya. 

3. MUI mengaku sudah membaca naskah pidato Macron, sehingga ikut mendorong warga boikot produk Prancis

Daftar produk buatan Prancis yang diserukan agar diboikot (www.twitter.com/@KhaledBeydoun)

Sementara di Tanah Air, diskursus mengenai pidato Macron semakin menghangat setelah Presiden Joko "Jokowi" Widodo ikut mengeluarkan kecaman. Belakangan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sempat meminta agar tidak mudah terprovokasi, ikut mengimbau umat Muslim memboikot produk buatan Prancis. 

Ketika dihubungi oleh IDN Times, Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, sikap organisasinya berubah lantaran tidak ada niat permintaan maaf dari Macron terhadap umat Muslim dunia. 

"Presiden Emmanuel Macron tetap berkukuh tidak akan mencabut pernyataan Beliau yang sangat mencederai umat Muslim di dunia. Di mana Beliau menganggap Islam adalah krisis dari kemanusiaan, Islam adalah sumber dari bentuk kekerasan dan trouble makers. Oleh sebab itu, kami sempat meminta agar pernyataan Beliau itu ditarik," ungkap Muhyiddin saat di telepon, Jumat 30 Oktober 2020. 

Ia menjelaskan, tidak bisa perbuatan pelaku pembunuhan di Prancis dikaitkan dengan Islam. "Terorisme itu kan tidak mengenal agama," ujarnya lagi. 

Oleh sebab itu, MUI mendorong agar semua produk yang berasal dari Prancis diboikot. MUI juga sempat meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk memberikan peringatan keras kepada Prancis. 

Hal lain yang disarankan oleh MUI yaitu menarik sementara waktu Duta Besar Indonesia untuk Prancis Arrmanatha Nasir ke Jakarta, hingga Prancis meminta maaf. Namun, usulan itu tak dipenuhi oleh pemerintah. 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, justru kehadiran dubes di negara penempatannya sangat dibutuhkan.

"Keberadaan seorang dubes sangat diperlukan untuk menjadi mata dan telinga bagi Pemerintah Indonesia," kata Faiza melalui pesan pendek kepadaIDN Times, Minggu 1 November kemarin

Baca Juga: MUI Serukan Boikot Produk Prancis Sampai Presiden Macron Minta Maaf 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya