TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Presiden Trump Akui Minum Obat Anti Malaria Agar Tak Kena COVID-19

"Saya sudah minum sejak 2 minggu lalu karena efeknya bagus"

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengunjungi distributor peralatan medis Owens & Minor di Allentown, Pennsylvania, Amerika Serikat, Kpada 14 Mei 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, tidak pernah kehabisan cara agar bisa masuk dalam pemberitaan. Dalam pertemuan virtual dengan para pelaku industri restoran di Gedung Putih pada Senin (18/5), Trump mengaku akhir-akhir ini sudah mengonsumsi obat antimalaria dan lupus, hydroxychloroquine agar tidak terinfeksi virus corona. Pernyataan itu sempat membuat reporter yang mendengarnya bingung lantaran obat tersebut belum disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). 

"Anda akan terkejut bila mengetahui betapa banyak orang yang telah mengonsumsinya. Para pekerja medis di garda terdepan juga banyak yang mengonsumsinya," ungkap Trump seperti dikutip harian Inggris, The Guardian

"Saya juga mengonsumsinya. Saya mengonsumsi hydroxychloroquine. Sudah dua pekan lalu saya mulai mengonsumsinya, karena saya pikir obat itu bagus, karena saya dengar banyak kisah positif (usai mengonsumsinya). Jadi, saya mengonsumsinya setiap hari," kata dia lagi. 

Padahal, FDA sudah mewanti-wanti agar tidak sembarangan mengonsumsi obat tersebut. Selain itu, obat tersebut belum terbukti bisa menyembuhkan pasien yang terinfeksi virus Sars-CoV-2. Justru menurut mereka, konsumsi hydroxychloroquine yang sembrono bisa memicu terjadinya serangan jantung. 

Lalu, mengapa dokter kepresidenan di Gedung Putih membiarkan Trump mengonsumsi obat itu?

Baca Juga: Cerita Ironis Korban Salah Konsumsi Chloroquine untuk Cegah COVID-19

1. Trump yang meminta untuk mengonsumsi obat antimalaria dan bukan atas saran dokter di Gedung Putih

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadiri konferensi pers tanggapan pandemi virus corona di Rose Garden, Gedung Putih, di Washington, Amerika Serikat, Senin (27/4/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria)

Stasiun berita BBC melaporkan konsumsi obat hydroxychloroquine bukan atas rekomendasi dokter di Gedung Putih. Melainkan atas permintaan Trump pribadi. 

Namun, dokter kepresidenan, Dr. Sean Conley dalam keterangan tertulis mengatakan ia dan Trump sudah berdiskusi soal efek konsumsi hydroxychloroquine. Usai dua pekan mengonsumsi obat itu, Conley mengatakan Trump dalam kondisi sangat sehat dan tidak ada gejala terpapar virus corona. 

"Setelah beberapa kali diskusi antara saya dengan Presiden mengenai bukti dan dampak negatif konsumsi hydroxychloroquine, maka kami dapat menyimpulkan potensi dampak positif dari pengobatan itu dibandingkan risikonya," kata Conley. 

Di saat yang bersamaan, Trump turut menyerang mantan direktur pembuatan vaksin, Rick Bright yang dianggap sebagai whistle blower lantaran bersedia bersaksi di hadapan kongres bahwa ia ditekan agar menyampaikan ke publik konsumsi hydroxychloroquine tak membahayakan kesehatan. Bright menolak melakukan itu dan ia langsung dicopot. 

Tetapi, menurut Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia AS, pernyataan Bright di hadapan kongres hanya sepihak dan tidak dapat dibuktikan. Bright justru tidak pernah muncul di kantor tetapi tetap menerima gaji senilai US$285.010 atau setara Rp4,2 miliar. 

"Pak Bright tidak pernah muncul di kantor untuk bekerja, tetapi tetap mengambil gajinya US$285.010. Ia memilih menggunakan gaji yang diperoleh dari pajak rakyat untuk bersama-sama dengan pengacara mempolitisasi respons penanganan COVID-19," demikian pernyataan juru bicara Departemen Kesehatan AS. 

2. Konsumsi hydroxychloroquine bisa menimbulkan gagal jantung, penyakit hati hingga muncul keinginan bunuh diri

(Dampak penggunaan choloroquine) IDN Times/Reja Gussafyn

Menurut para dokter, obat hydroxychloroquine justru berpotensi menimbulkan gejala penyakit lain seperti gagal jantung, keinginan bunuh diri dan gejala penyakit hati. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (CDC) AS mengatakan hingga saat ini belum ada obat resmi untuk mengobati COVID-19. 

FDA pun memberikan izin konsumsi obat itu di rumah sakit untuk penggunaan darurat. Apalagi kini jumlah pasien yang terinfeksi COVID-19 di AS terus meroket. Menurut data dari situs World O Meter, ada 1,5 juta pasien yang terinfeksi COVID-19 di AS. Sebanyak 90 ribu pasien dinyatakan meninggal. 

Baca Juga: Presiden Trump: WHO adalah Badan Boneka Tiongkok

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya