TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Update! Kasus Harian COVID di Jepang Nyaris Tembus 200 Ribu

Sekretaris Kepala Kabinet Jepang ikut tertular COVID-19

gambar menara tokyo di jepang (pexels.com/ Timo Volz)

Jakarta, IDN Times - Gelombang tujuh COVID-19 sepertinya belum akan membaik di Jepang dalam waktu dekat. Sebab, hingga Kamis, (4/8/2022), kasus harian COVID-19 di Negeri Sakura nyaris menembus angka 200 ribu. 

Dikutip dari World O Meter pada hari ini, kasus harian di Jepang dalam 24 jam terakhir bertambah 195.801. Maka, akumulasi kasus COVID-19 di Jepang mencapai 13.113.301.

Angka kematian harian pun juga masih berada di tiga digit, yakni 125 jiwa. Maka, akumulasi kasus kematian harian mencapai 32.819 jiwa. 

Pemerintah Negeri Sakura memang tengah kesulitan untuk mengatasi gelombang ke-7 pandemik COVID-19. Pada 24 Juli 2022 lalu, otoritas setempat mencatat kasus harian mencapai 200.975. Angka kasus harian itu belum mengalami penurunan yang signifikan. 

Bahkan, Sekretaris Kepala Kabinet Jepang, Hirokazu Matsuno sudah tertular COVID-19. Alhasil, pemberian keterangan pers kepada media terkait program dan agenda pemerintah digantikan sementara waktu oleh dua pejabat lainnya yakni Seiji Kihara dan Yoshihiko Isozaki. Sedangkan, Hirokazu diminta untuk beristirahat dan menjalani isolasi di rumah.

Lalu, apa yang menyebabkan kasus COVID-19 di Jepang begitu meroket pada pertengahan tahun 2022?

Baca Juga: Update, Kasus Harian COVID Jepang Tertinggi di Dunia, Sehari 167 Ribu

1. Jepang terlambat memberikan vaksin COVID-19 bagi anak di bawah usia 11 tahun

ilustrasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut ahli penyakit menular di Universitas Kagoshima, Junichiro Nishi, salah satu penyebab meningkatnya penularan COVID-19 saat ini karena pemerintah terlambat memberikan vaksin kepada warga yang masih berusia muda yakni 5-11 tahun. "Saat ini rasanya sudah terlambat untuk menghentikan penyebaran, tetapi dalam jangka panjang, dosis ketiga untuk usia 5-11 tahun akan dibutuhkan," kata Junichiro seperti dikutip dari harian The Guardian

Di sisi lain, peningkatan jumlah penularan kasus COVID-19, diprediksi lantaran pada gelombang pertama masih sedikit warga yang tertular. Ketika gelombang pertama melanda Negeri Sakura, hanya 10 persen warganya yang tertular. Sangat jauh berbeda bila dibandingkan warga Inggris yang 34 persen dari populasinya sudah tertular COVID-19. 

"Kami memprediksi rekor baru (penularan) akan terus terjadi di seluruh Jepang," ungkap Kepala Institut Nasional Penyakit Menular, Takaji Wakita ketika memimpin sidang panel yang terdiri dari pakar kesehatan di Kementerian Kesehatan.

2. Jepang tidak akan memperketat pergerakan masyarakat, meski penularan COVID-19 meningkat

Tokyo Skytree, Jepang (IDN Times/Anata)

Wakil Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Seiji Kihara mengatakan tidak akan kembali memberlakukan pembatasan pergerakan masyarakat. Alih-alih pemerintah pusat menerapkan pembatasan, mereka menyerahkan penanganannya ke pemda terkait. Namun, pemerintah pusat meminta agar pemda fokus untuk melindungi warga lansia dan kaum rentan. 

"Daripada memberikan sebuah respons nasional, kami ingin mendukung respons yang diberikan oleh otoritas regional yang berbasis pada situasi di masing-masing wilayah. Penting bagi kita semua untuk mendukung aktivitas ekonomi dan sosial di masing-masing perfektur," kata Seiji. 

Sementara, laporan dari kantor berita Kyodo, angka kematian akibat gelombang ke-7 COVID-19 ini memang lebih rendah. Tetapi, jumlah pasien kritis di sejumlah daerah di Jepang semakin meningkat. Artinya, jumlah kematian berpotensi mengalami kenaikan. 

Bahkan, sejumlah rumah sakit di ibu kota Tokyo, harus menyediakan tempat tidur tembahan bagi pasien COVID-19 lebih dari 50 persen kapasitas yang ada. Ibu kota Tokyo melaporkan kasus harian lebih dari 13 ribu. Dan itu sudah memasuki hari ke-13 berturut-turut.

Baca Juga: Jepang Izinkan Kedatangan Turis Asing Termasuk Indonesia Mulai 10 Juni

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya