TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

WHO: Vaksin Saja Tidak Akan Ampuh Akhiri Pandemik COVID-19

Dirjen WHO dorong perbaiki pandemik agar bisa buka ekonomi

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus (REUTERS/Denis Balibouse)

Jakarta, IDN Times - Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mewanti-wanti bahwa vaksin saja tidak akan cukup untuk mengatasi pandemik COVID-19.

Pernyataan itu disampaikan Ghebreyesus menyikapi hasil awal uji klinis beberapa vaksin COVID-19, yang mengklaim keampuhannya melawan virus Sars-CoV-2 lebih dari 90 persen.

Setidaknya ada tiga vaksin COVID-19 yang mengklaim cukup ampuh, yakni vaksin buatan Pfizer dan BioNTech, Moderna dan Sputnik V. Stasiun berita Channel News Asia melaporkan, WHO menurut Ghebreyesus tak ingin cepat berpuas diri. 

"Kami terus menerima berita yang membuat semangat terus muncul mengenai vaksin COVID-19. Tetapi, di saat bersamaan tetap berhati-hati mengenai potensi hal-hal lain yang terus muncul dalam beberapa bulan ke depan," ungkap Ghebreyesus, Jumat, 20 November 2020. 

Meski hasil awal terlihat menampilkan kemajuan yang signifikan, tak ada satu pun vaksin COVID-19 yang telah mengantongi izin dari WHO. Sebagian besar akan mengajukan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization) di masing-masing negaranya. Perusahaan farmasi Pfizer sudah mengajukan EUA ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Amerika Serikat atau yang disebut FDA. 

Namun, berdasarkan data, mayoritas vaksin COVID-19 yang memberikan lebih dari 90 persen telah diborong oleh negara-negara kaya. Kekhawatiran muncul lantaran negara berpendapatan rendah dan berkembang tak akan memperoleh vaksin virus corona. 

Ghebreyesus mengaku khawatir karena vaksin COVID-19 yang direstui WHO masih jauh dari realisasinya. Sedangkan, virus Sars-CoV-2 tidak menunggu hingga vaksin tersedia. Otomatis korban jiwa terus berjatuhan. 

"Ini merupakan virus yang berbahaya yang dapat menyerang setiap sistem di tubuh. Negara-negara yang membiarkan virus berkeliaran dan tidak dibendung, justru tengah bermain dengan bahaya," ujarnya. 

Apa masukan WHO bagi negara-negara yang tengah berusaha membendung gelombang kedua atau ketiga pandemik COVID-19?

Baca Juga: WHO: Kami Tidak Anjurkan Lockdown, Membuat Orang Makin Miskin

1. WHO tidak anjurkan kebijakan lockdown dalam jangka waktu lama

Ilustrasi lockdown untuk mencegah meluasnya virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Mengutip situs resmi WHO, mereka tidak merekomendasikan pemerintah negara mana pun melakukan karantina wilayah atau lockdown sebagai satu-satunya cara melawan pandemik COVID-19. Pernyataan yang sempat disampaikan Dr David Nabarro ini sempat memicu polemik, lantaran dianggap mencerminkan sikap WHO yang tak konsisten. 

Ketika awal kemunculan COVID-19 pada Maret 2020, WHO justru merekomendasikan pembatasan pergerakan manusia. Beberapa negara, termasuk India, akhirnya menerjemahkan kebijakan itu dengan melakukan lockdown

"Satu-satunya alasan mengapa lockdown bisa dibenarkan karena hal itu bisa memberikan Anda tambahan waktu untuk menyusun kembali dan mengimbangi sumber. Selain itu, Anda bisa melindungi tenaga kesehatan yang mengalami kelelahan. Tetapi, bila dijadikan satu-satunya cara, kami memilih untuk tidak merekomendasikannya (lockdown)," kata Nabarro pada 9 Oktober 2020, ketika diwawancarai Spectator TV

WHO menilai kebijakan lockdown dalam jangka panjang bisa menimbulkan dampak negatif kepada individu, masyarakat dan komunitas, sehingga mengakibatkan kehidupan ekonomi dan sosial nyaris terhenti. Langkah yang dianggap tidak proporsional itu akan merugikan para migran, pengungsi, orang miskin atau pekerja harian. 

"Tetapi, WHO mengakui dalam titik waktu tertentu, beberapa negara tidak memiliki kebijakan selain mengeluarkan instruksi agar tetap ada di rumah dan langkah lain untuk mengulur waktu. Pemerintah harus meningkatkan kemampuannya untuk melakukan tes, pelacakan, dan mengkarantina semua yang sempat melakukan kontak. Selain itu, mendorong masyarakat untuk melakukan kontak sosial meski jarak jauh," demikian keterangan tertulis di situs WHO. 

2. WHO dorong pemerintah di semua negara melindungi tenaga medis selama pandemik COVID-19

Ilustrasi tenaga kesehatan sedang melakukan rapid test (IDN Times/Herka Yenis)

Selain itu, Dirjen Ghebreyesus juga mendorong agar pemerintah di semua negara memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan, sebab situasinya saat ini diprediksi segera kolaps. 

"Para pekerja kesehatan di garda terdepan telah berusaha bertahan selama beberapa bulan. Mereka sudah benar-benar kelelahan," kata Ghebreyesus. 

"Kita harus melakukan semua yang kita bisa untuk melindungi mereka, khususnya di periode ini ketika virusnya tengah melonjak dan pasien tengah memenuhi tempat tidur di rumah sakit," ujarnya, lagi. 

Situasi serupa kini juga sedang terjadi di Indonesia. Angka harian COVID-19 di Tanah Air kembali melonjak dan mencetak rekor hingga di atas 5.000 kasus positif per harinya.

Jumlah itu ditemukan usai adanya libur panjang lima hari yang diberlakukan pemerintah. Angka itu diprediksi terus naik karena kepulangan Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dari Saudi, memicu terjadinya kerumunan selama tiga hari.

Satgas COVID-19 di Indonesia bahkan mengancam akan menghapus waktu libur akhir tahun yang semula merupakan peralihan libur Idul Fitri. 

Dirjen Ghebreyesus mengatakan bila ingin perekonomian segera bangkit, maka pemerintah negara tersebut harus mengalahkan virus corona lebih dulu. 

Baca Juga: Pfizer Ajukan Izin Edar Darurat ke BPOM AS Usai Vaksin Terbukti Ampuh

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya