Pfizer Ajukan Izin Edar Darurat ke BPOM AS Usai Vaksin Terbukti Ampuh

Pfizer mendekati BPOM RI untuk uji klinis di Tanah Air

Jakarta, IDN Times - CEO perusahaan farmasi Amerika Serikat Pfizer, Albert Boula, mengatakan tengah menyiapkan beberapa dokumen untuk memperoleh izin edar darurat (Emergency Use Authorization) vaksin COVID-19 ke Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA).

Pengajuan itu dilakukan usai Pfizer yang bermitra dengan BioNTech telah memiliki data keselamatan yang cukup mengenai vaksin yang mereka buat. Berdasarkan analisa uji klinis vaksin COVID-19 yang telah dirampungkan, vaksin tersebut 95 persen melindungi manusia dari virus corona. 

Kantor berita AFP, Kamis, 19 November 2020 melaporkan khasiat vaksin juga ditemukan konsisten di berbagai kelompok umur, termasuk lansia. Keampuhan vaksin Pfizer menurut analisa juga terlihat di berbagai etnis dan jenis kelamin. 

"Saya pikir pertanyaan mengenai keamanan sudah terjawab. Pencapaian kami mengenai keselamatan sudah tercapai dan kami tengah menyiapkan untuk memperoleh (izin edar darurat)," ungkap Boula kepada harian The New York Times. 

Selain Pfizer, perusahaan farmasi Moderna juga mengklaim vaksin COVID-19 buatannya 94,5 persen ampuh dalam melindungi manusia dari virus corona. Moderna juga akan mengajukan izin edar darurat (EUA) ke FDA pada bulan ini usai memperoleh semua data mengenai keamanan vaksin. 

Melihat kemajuan itu, pakar penyakit menular kenamaan AS, Dr. Anthony Fauci, mengatakan kemungkinan warga Negeri Paman Sam bisa mulai proses vaksinasi di bulan Desember. Menurut sumber stasiun berita CNN, FDA telah menjadwalkan pertemuan dengan Komite Penasihat Vaksin dan Produk Terkait Biologi, pada 8-10 Desember mendatang.

Sumber itu juga menyebut di akhir pertemuan pada 10 Desember 2020, bisa langsung diputuskan apakah izin edar darurat bisa dikeluarkan. 

"Masuk akal, bila FDA akan mempertimbangkan pengajuan kedua perusahaan farmasi itu. Apalagi teknologi (vaksin) yang digunakan sama dan memiliki tingkat keamanan dan keampuhan yang serupa," ujar sumber tersebut. 

Di sisi lain, Pfizer rupanya juga sudah mengontak Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI untuk menawarkan vaksin COVID-19 buatan mereka. Apa tanggapan BPOM terhadap proposal yang mereka ajukan?

1. Sebanyak 170 dari 44 ribu relawan vaksin Pfizer terpapar COVID-19 saat uji klinis tahap ketiga

Pfizer Ajukan Izin Edar Darurat ke BPOM AS Usai Vaksin Terbukti AmpuhIlustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Kantor berita AFP melaporkan, uji klinis tahap ketiga vaksin buatan Pfizer melibatkan 44 ribu relawan. Sebanyak 170 relawan di antaranya terpapar COVID-19. Sebanyak 162 relawan hanya menerima plasebo, sedangkan 8 relawan lainnya sudah diberi suntikan vaksin dua dosis. 

Dari 170 relawan itu, sebanyak 10 di antaranya mengalami COVID-19 yang parah, namun hanya satu relawan yang sudah diberi vaksin yang terkena virus corona dengan kondisi tersebut. Sembilan relawan dalam kondisi COVID-19 yang parah hanya menerima plasebo. 

Data terbaru menunjukkan vaksin buatan Pfizer bisa ditoleransi oleh hampir semua relawan dari berbagai usia. Sebagian besar bila ada efek samping hanya bertahan sebentar dan gejalanya ringan atau moderat. 

Sebanyak 4 persen relawan mengaku mengalami kelelahan ekstra dan dua persen relawan mengaku terkena sakit kepala hebat usai diberi suntikan kedua. 

Sedangkan, relawan berusia lansia mengalami lebih sedikit efek samping. Bila ada, maka gejalanya pun ringan. Uji klinis tahap ketiga vaksin buatan Pfizer ini dilakukan di 150 lokasi yang tersebar di enam negara yaitu AS, Brasil, Jerman, Turki, Argentina dan Afrika Selatan. 

Baca Juga: Vaksin Pfizer Diklaim Bisa Cegah COVID-19, Epidemiolog: Baru Gejala

2. BPOM mengaku didekati Pfizer untuk lakukan uji klinis vaksin COVID-19 di Indonesia

Pfizer Ajukan Izin Edar Darurat ke BPOM AS Usai Vaksin Terbukti AmpuhIDN Times/Helmi Shemi

Sebelumnya, kepada media, Kepala BPOM Penny Lukito mengaku juga sudah didekati oleh beberapa perusahaan farmasi seperti Pfizer, AstraZeneca, dan Sputnik V. Mereka mengontak Penny untuk membicarakan kemungkinan melakukan uji klinis vaksin di Indonesia. 

Ia mengatakan perusahaan farmasi ini sedang mencari mitra di Indonesia untuk mensponsori uji klinis atau memproduksi vaksinnya di Tanah Air. Menurut Penny, ini merupakan peluang perusahaan farmasi di Indonesia. 

"Saya kira pandemik telah membuka peluang bagi semua bagian di perusahaan farmasi di Indonesia untuk berkembang, tidak hanya terbatas bagi perusahaan farmasi milik pemerintah saja," kata Penny pada Kamis, 19 November 2020. 

Pernyataan itu disampaikan Penny, usai Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bertemu dengan Wapres AS, Mike Pence di Washington DC pada pekan ini. Dalam pembicaraan itu, Pence menawarkan kepada Indonesia kerja sama untuk memproduksi vaksin. Namun, Pence tidak menjelaskan perusahaan farmasi mana di AS yang akan diajak bekerja sama oleh mitra di Indonesia. 

3. Vaksin buatan Pfizer sempat diklaim tidak cocok untuk negara berkembang

Pfizer Ajukan Izin Edar Darurat ke BPOM AS Usai Vaksin Terbukti AmpuhIlustrasi Vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Ilmuwan kenamaan di Pemerintah Pakistan Professor Atta Ur Rahman mengatakan, vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi Pfizer dan BioNTech bukan ditujukan bagi negara-negara berkembang. Sebab, vaksin tersebut harus disimpan di dalam suhu minus 80 derajat celcius dan diperlukan dua suntikan. 

Laman VOA News, Rabu 11 November 2020 melaporkan, karena itu Pakistan dan negara-negara berkembang lainnya menilai terlalu dini untuk merayakan keberhasilan vaksin COVID-19 buatan Pfizer. Menurut klaim Pfizer, hasil awal uji klinis tahap ketiga menunjukkan vaksin itu 90 persen efektif mencegah manusia terpapar COVID-19.

Informasi itu tentu disambut baik oleh dunia. Lantaran kini jumlah kasus COVID-19 di dunia telah menembus 52,5 juta. Di mana 1,2 juta pasien dilaporkan telah meninggal dunia. Namun, bagi Atta, biaya yang dikeluarkan terlalu mahal untuk membeli vaksin buatan Pfizer tersebut. 

"Ini merupakan vaksin RNA dan harus diangkut dalam suhu minus 80 derajat celcius. Jadi, vaksin ini tidak sesuai untuk negara-negara berkembang. Peralatan pendingin dan proses untuk mengangkut vaksin dari bandara ke kota-kota di seluruh negara itu, itu yang tidak dipikirkan di negara berkembang," ungkap Atta. 

Dalam pandangan Atta, sulit menyimpan vaksin COVID-19 dengan suhu sangat dingin. Belum lagi masing-masing warga membutuhkan dua suntikan dengan jeda tiga pekan. Apalagi suhu udara di Pakistan ketika memasuki musim panas bisa menembus 40 derajat celcius dan 50 derajat celcius. 

Baca Juga: Pakistan: Vaksin COVID-19 Pfizer Tidak Cocok untuk Negara Berkembang

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya