TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fakta-Fakta Rappler dan Maria Ressa, Sempat Punya Biro di Indonesia

Rappler Filipina dicabut izin operasinya oleh pemerintah

Maria Ressa, pendiri dan CEO Rappler saat mendapat informasi penutupan Rappler. (IDN TImes/Uni Lubis)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Rodrigo Duterte akhirnya menutup media Rappler yang didirikan oleh Maria Ressa. Maria menyampaikan bahwa otoritas bursa saham Filipina menerbitkan perintah yang mengonfirmasi keputusan sebelumnya yang mencabut sertifikat atau lisensi bisnis korporasi Rappler.

Maria bertekad bakal melawan keputusan yang dibuat Duterte dua hari sebelum masa jabatannya berakhir dan digantikan oleh Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr.

“Kami (Rappler) tidak akan tutup, kami akan mengajukan banding atas keputusan ini, karena jelas prosesnya tidak biasa," kata Maria.

Bagaimana sepak terjang Rappler dalam melawan disinformasi dan kebebasan pers di Filipina? Dan siapa sebenarnya Maria Ressa? Berikut fakta-fakta yang telah dihimpun oleh IDN Times.

Baca Juga: Sempat Ditahan Selama 21 Jam, CEO Rappler Maria Ressa Akhirnya Bebas

1. Maria Ressa raih Nobel Perdamaian

Maria Ressa, pendiri dan CEO Rappler saat mendapat informasi penutupan Rappler. (IDN TImes/Uni Lubis)

Bersama jurnalis Rusia, Dmitru Muratov, Maria Ressa mendapat Nobel Perdamaian pada 2021, atas perjuangannya membela kebebasan berekspresi di Filipina, pun melawan disinformasi di negaranya.

Komite Nobel, kala itu, menyebut Ressa adalah perwakilan dari semua jurnalis yang membela idealisme.

Pada 2018, Maria Ressa pernah mendapatkan Person of the Year dari majalah TIME. Ia beberapa kali dituntut pasal pencemaran nama baik dan kejahatan pajak. Sejumlah aktivis menilai, tuduhan ini memiliki motif politik dengan maksud membungkam media independen di Filipina.

Maria Ressa juga merupakan kritikus yang cukup vokal di Filipina, terutama dalam menyuarakan idealismenya di dunia jurnalistik.

2. Rappler sempat memiliki biro di Indonesia

Rappler Statement yang disampaikan Maria Ressa, pendiri dan CEO Rappler. (IDN Times/Uni Lubis)

Sebelum mendirikan Rappler, Maria Ressa bekerja untuk ABS-CBN Filipina. Rappler sendiri lahir dari sebuah halaman komunitas Facebook pada Agustus 2011. Sesudah itu, Rappler menjelma menjadi media independen terbesar di Filipina.

Maria Ressa pernah bertugas di Indonesia, di mana Rappler memiliki biro di Jakarta.

Rappler merupakan media yang berulang kali memberitakan soal operasi perang yang merupakan kebijakan Duterte.

Di Manila, jurnalis Rappler sempat dilarang meliput di Istana Malacanang, istana kepresidenan Filipina. Larangan ini juga sempat diperluas hingga di luar istana.

Pada 2019, Ressa pernah ditangkap di kantor pusat Rappler di Manila dengan tuduhan fitnah digital, perkara baru yang menimpanya setelah tuduhan penggelapan pajak.

“Kasus ini konyol dan fakta bahwa mereka membawa surat penangkapan adalah parodi peradilan,” ucap Ressa, kala itu.

Baca Juga: Pemerintah Duterte Putuskan Cabut Izin Bisnis Rappler

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya