TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Ayah di Afghanistan Terpaksa 'Jual' Putri Kecilnya akibat Krisis

Bayi berusia 20 hari pun 'dinikahkan'

Cuplikan suasana di wilayah yang dikuasai Taliban. twitter.com/pagossman

Jakarta, IDN Times - Fazal, pekerja pabrik batu bata di Afghanistan yang kini menganggur dan dililit utang, terpaksa ‘menjual’ putri-putrinya yang masih kecil, supaya keluarganya tidak mati kelaparan. Dia adalah satu dari sekian warga Afghanistan yang menjadikan pernikahan anak sebagai solusi atas krisis yang terjadi di negaranya.

Bulan lalu, Fazal menerima pembayaran mahar sebesar 3.000 dolar AS (sekitar Rp42,7 juta) setelah menyerahkan dua putrinya yang berusia 13 dan 15 tahun, kepada lelaki yang usianya dua kali lipat dari mereka. Jika uangnya habis, dia bahkan kepikiran untuk menikahkan anaknya yang masih berusia 7 tahun.

"Saya tidak punya cara lain untuk memberi makan keluarga saya dan melunasi utang saya. Apa lagi yang bisa saya lakukan? Saya sangat berharap untuk tidak menikahkan putri bungsu saya,” kata dia kepada Thomson Reuters Foundation di Kabul, dikutip dari Reuters.

1. Fazal terpaksa menikahkan anaknya untuk bayar utang

Ilustrasi penduduk Afghanistan (Pixabay.com/ArmyAmber)

Fazal terpaksa ‘menjual’ anaknya ketika krisis ekonomi merenggut pekerjaannya. Sebagai pegawai kontrak, ia telah dibayar di muka dengan upah 1.000 dolar AS (sekitar Rp14,2 juta) untuk enam bulan masa kerja.

Karena tidak ada lagi permintaan batu bata, Fazal dituntut untuk mengembalikan uang bosnya. Sayangnya, uang itu tidak lagi tersisa, dengan dalih digunakan Fazal untuk biaya pengobatan sang istri.

Tidak sedikit penduduk di sekitar kediaman Fazal yang juga menikahkan anak perempuan mereka, untuk mengembalikan uang muka.

Data nasional terbaru menunjukkan, sebanyak 28 persen anak perempuan di Afghanistan menikah sebelum mereka mencapai usia 18 tahun dan 4 persen sebelum usia 15 tahun.

Padahal, anak perempuan yang menikah pada usia muda berisiko mengalami pemerkosaan dalam perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi, dan komplikasi kehamilan yang berbahaya.

"Ini menghancurkan hidup mereka, kesehatan psikologis, emosional, fisik dan seksual mereka. Anak-anak perempuan itu diperlakukan selayaknya pelayan, seperti budak,” kata Afghani, Presiden Liga International Wanita untuk Perdamaian dan Kebebasan Afghanistan, dilansir dari The Straits Times.

2. Pernikahan anak meningkat seiring krisis di Afghanistan

Situasi ketika para warga Afghanistan dievakuasi ke tempat yang lebih aman dari Afghanistan yang dijaga oleh pasukan Amerika Serikat. (Twitter.com/DeptofDefense)

Pernikahan anak telah meningkat seiring dengan melonjaknya kemiskinan, terlebih sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus lalu. Beredar laporan bahwa orang tua yang miskin menjanjikan bayi perempuannya untuk pernikahan pada masa depan dengan imbalan mas kawin.

Diperkirakan, rata-rata pernikahan anak meningkat dua kali lipat dalam beberapa bulan mendatang, seiring pandemik COVID-19, musim dingin, dan krisis ekonomi melilit kesejahteraan masyarakat Afghanistan.

Ketika musim dingin tiba, data PBB memperkirakan 97 persen rumah tangga bisa jatuh di bawah garis kemiskinan pada pertengahan 2022.

"Mendengar cerita ini melumpuhkan hati saya. Ini bukan pernikahan, ini pemerkosaan anak,” kata juru kampanye hak-hak perempuan Afghanistan, Wazhma Frogh.

Selain pernikahan anak, dia kerap mendengar laporan soal pelecehan seksual anak di bawah 10 tahun, atau anak-anak yang belum memasuki masa pubertas. Lebih ironis lagi, UNICEF bahkan menerima laporan soal keluarga yang menawarkan anak perempuan berusia 20 hari untuk pernikahan pada masa depan.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya