Maria Ressa Sebut Teknologi AS Sumber 'Lumpur Beracun' di Medsos
Peraih Nobel ini sebut kbohongan di medsos makin parah
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Jurnalis peraih Nobel Perdamaian asal Filipina, Maria Ressa, mengkritik raksasa teknologi Amerika Serikat (AS) sebagai sumber ‘lumpur beracun’ di media sosial. Pernyataan itu disampaikan Ressa saat menerima hadiah Nobel Perdamaian pada Jumat (10/12/2021).
“Industri teknologi menjadikan kita rentan terinfeksi virus kebohongan, kita diadu satu sama lain, dipaksa takut, marah, membenci, dan pada akhirnya menyiapkan panggung untuk kebangkitan otoritarianisme dan kediktatoran di seluruh dunia,” kata Ressa dikutip dari The Straits Times.
"Saat ini kita harus mengubah kebencian dan kekerasan itu, ‘lumpur beracun’ yang mengalir melalui ekosistem informasi kita, yang situasinya diperburuk dengan perusahaan internet Amerika karena mereka memperoleh uang dengan menyebarkan kebencian itu,” tambah dia.
Baca Juga: Rahasia Peraih Nobel Perdamaian Maria Ressa Melawan Rasa Takut
Baca Juga: 5 Fakta Maria Ressa, Jurnalis Peraih Nobel Perdamaian 2021
1. Solusi atas permasalahan hari ini adalah kebenaran
Ressa merupakan pendiri outlet berita Rappler, kanal berita yang sangat keras mengkritik Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Rappler termasuk media yang menentang keras cara Duterte dalam memberantas bandar narkoba.
Ressa juga khawatir kebencian yang beredar di media sosial memengaruhi kehidupan di dunia nyata. Kemudian, dia juga mengingatkan bahwa fakta dan kebenaran adalah solusi dari tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini.
"Tanpa fakta, Anda tidak dapat memiliki kebenaran. Tanpa kebenaran, Anda tidak dapat memiliki kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kita tidak memiliki realitas bersama, tidak ada demokrasi, dan menjadi tidak mungkin untuk menangani masalah eksistensial dunia kita, iklim, virus corona, berjuang untuk kebenaran," terang dia.
Baca Juga: Maria Ressa Sebut Algoritma Medsos Jadi Masalah Besar bagi Jurnalistik