TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

PBB: Myanmar Bisa Jadi Negara Gagal karena Kejahatan Kemanusiaan Junta

Hampir 900 warga sipil meninggal akibat represivitas junta

Pendemo memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Jakarta, IDN Times - Pakar hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut junta militer Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Atas dasar itulah, kata dia, masyarakat internasional tidak lagi memiliki alasan untuk diam dan sekadar menyaksikan apa yang terjadi di Burma.

Thomas Andrews, pakar HAM PBB yang juga merangkap sebagai pelapor khusus PBB untuk Myanmar, mengungkapkan hal itu di hadapan Dewan HAM PBB pada Rabu (7/7/2021). Dia mengecam represivitas junta yang dilakukan secara meluas dan sistematis terhadap rakyat sejak kudeta 1 Februari 2021.

"Pasukan junta militer telah membunuh sekitar 900 orang, memaksa ratusan ribu orang mengungsi, menyiksa banyak orang, termasuk menyiksa orang dalam tahanan sampai mati, menghilangkan jumlah yang tak terhitung; dan secara sewenang-wenang menahan hampir 6.000 orang," kata Andrews sebagaimana diwartakan Channel News Asia.

Baca Juga: PBB Khawatir Krisis Kudeta Myanmar Berujung Kekacauan Asia Tenggara

1. Komunitas internasional gagal menekan junta meski sederet kejahatan kemanusiaan terjadi

Kepala junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta pada 1 Februari, memimpin parade militer pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Kendati berbagai fakta telah dibeberkan, Andrews menyayangkan karena masyarakat internasional tidak tegas merespons kekerasan junta.

"Komunitas internasional mengecewakan rakyat Myanmar," ujar dia.

Selain pembunuhan dan penyiksaan, junta juga telah memotong distribusi makanan, air, dan obat-obatan bagi mereka yang mengungsi akibat serangan di desa-desa.

Menurut Andrews, junta bahkan menyandera anggota keluarga ketika pasukannya tidak dapat menemukan seseorang yang ditetapkan sebagai buronan. Baru-baru ini, mereka bahkan menangkap anak berusia empat tahun.

2. Masyarakat Myanmar mulai kehilangan harapan dengan komunitas internasional

Pengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Respons komunitas internasional, mulai dari embargo senjata di Majelis Umum PBB, kecaman dari Dewan Keamanan PBB, tekanan dari ASEAN, hingga sanksi dari berbagai negara Barat belum mampu menundukkan junta.

Pemimpin junta sekaligus dalang kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, masih berdiri kokoh sebagai pemimpin de facto Myanmar.

"Beberapa di Myanmar telah kehilangan harapan bahwa bantuan dari komunitas internasional akan datang dan malah berusaha membela diri melalui pembentukan pasukan pertahanan dan tindakan sabotase," tambahnya, mewanti-wanti skala kekerasan yang berpotensi meluas.

"Tren ini bisa meningkat dengan cepat dan pola junta yang menggunakan kekuatan yang sangat tidak proporsional sebagai tanggapan kemungkinan akan menyebabkan hilangnya nyawa yang lebih besar," sambung dia.

Baca Juga: Singapura Kecewa Kinerja ASEAN Tangani Krisis Myanmar Lambat

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya