RI Kecam Pakar PBB yang Buat Berita Sesat Seputar Kondisi HAM di Papua
RI sebut pakar HAM PBB tidak bekerja secara profesional
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu), mengecam pemberitaan yang tidak berimbang dan tidak konstruktif terkait kondisi hak asasi manusia (HAM) di Papua, yang ditulis atas nama pakar HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam artikel berjudul ‘Indonesia: UN experts sound alarm on serious Papua abuses, call for urgent aid’, dikatakan bahwa pemerintah Indonesia secara sistematis melakukan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat.
Pelanggaran yang dimaksud adalah pembunuhan anak, penyiksaan, penghilangan dan pemindahan paksa, hingga menutup akses terhadap bantuan kemanusiaan internasional. Oleh sebab itu, pakar HAM PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen atas kekejaman yang menyasar masyarakat adat.
Dalam berita tersebut, dikatakan pula jumlah pengungsi sejak eskalasi kekerasan terjadi pada Desember 2018 telah mencapai 60 ribu hingga 100 ribu orang.
"Mayoritas pengungsi di Papua Barat belum kembali ke rumah karena kehadiran pasukan keamanan yang kuat, dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik. Beberapa pengungsi tinggal di penampungan sementara. Ribuan penduduk desa melarikan diri ke hutan, dan tidak memiliki akses terhadap makanan, perawatan, kesehatan, dan fasilitas pendidikan,” kata para ahli HAM.
Lantas, bagaimana tanggapan Kemlu?
Baca Juga: Wapres Minta Majelis Rakyat Kawal percepatan Pembangunan di Papua
1. Deretan dugaan pelanggaran yang disebutkan oleh pakar HAM PBB
Di antara pakar HAM PBB yang terlibat dalam penulisan laporan tersebut adalah Francisco Cali Tzay (pelapor khusus tentang hak-hak masyarakat adat) Morris Tidball-Binz (pelapor khusus tentang eksekusi di luar hukum dan sewenang-wenang), dan Cecilia Jimenez-Damary (pelapor khusus untuk HAM pengungsi internal).
Secara mendetail, berikut poin-poin yang menjadi kritik dari para ahli PBB:
- Sepanjang April-November 2021, mereka menerima laporan terkait pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan pemindahan paksa hingga 5.000 orang.
- Sejak Desember 2018, sekitar 60 ribu hingga 100 ribu orang menjadi pengungsi internal.
- Pengungsi tidak dapat akses kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan makanan yang memadai.
- Lembaga bantuan kemanusiaan aksesnya dibatasi, termasuk Palang Merah.
- Rohaniawan tidak diizinkan oleh aparat mengunjungi desa-desa pengungsi
- Terjadi permasalahan gizi dan kesehatan karena kurangnya akses makanan.
- Situasi di daratan tinggi Papua memburuk sejak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat membunuh perwira tinggi miiter.
"Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es, mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi, sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan," kata mereka.
Baca Juga: TNI AL Minta Maaf Atas Wafatnya Bocah Papua Saat Pindah Rumah Sakit