TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Warga Gaza yang Trauma Dihantui Hujan Rudal Israel

Mohammed al-Silk menyaksikan 3 anaknya tewas dibom Israel

Rentetan cahaya terlihat sebagai sistem anti-rudal Iron Dome Israel mencegat roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza ke arah Israel, seperti yang terlihat dari Ashkelon, Israel, Jumat (14/5/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Amir Cohen.

Jakarta, IDN Times – Mohammed al-Silk masih mengingat dengan jelas momen saat dirinya menjadi sangat terpuruk. Kala itu, 30 Juli 2014, hari ketiga di perayaan Idul Fitri, tatkala serangan Israel di Gaza sejak awal bulan itu masih membayang-bayangi.

Warga Palestina berusia 47 tahun itu sedang berwudhu untuk menunaikan shalat ashar, sementara istrinya sedang membuat makan siang.

Tawa terdengar dari atap rumah tujuh lantai mereka di Shujaiya, timur laut Gaza, di mana tiga anak pasangan itu tengah bermain ayunan dengan keempat keponakan mereka. Anak-anak itu semuanya masih berusia antara 2-9 tahun.

Di dekatnya ada kakek mereka, Abd Al-Karim, berusia 69 tahun, yang sedang memberi makan ayam dan bebeknya sambil mengawasi cucu-cucunya.  

"Ada gencatan senjata selama empat jam, dan anak-anak pergi bermain untuk menghilangkan tekanan yang mereka alami akibat serangan (Israel)," kata Silk kepada Middle East Eye.

Namun tidak lama setelah militer Israel menyatakan gencatan senjata, mereka justru melanggarnya. Tiba-tiba, Silk mendengar serangan udara begitu dekat sehingga seluruh rumahnya bergetar. Dia kemudian mendengar orang-orang berteriak bahwa rumah Silk telah dibom.

“Saya dan istri saya segera berlari menaiki tangga ke atap dan menemukan mayat ketiga anak saya. Ayah dan keempat keponakan saya juga meninggal. Tiga di antaranya tanpa kepala," tuturnya.

Silk membeku saat melihat kekejaman itu.

"Istri saya berteriak 'Anak-anak saya, anak-anak saya ...' dan kemudian dia mendekap tubuh Omiya, putri saya satu-satunya. Jenazah Abd al-Halim, anak sulung saya, masih utuh. Jadi saya bergegas ke sisinya untuk memeriksa apakah dia masih hidup. Saat saya mengangkat kepalanya dari tanah, otaknya terlepas dari tangan saya," tambahnya.

"Saya membawanya ke ambulans yang diparkir di depan rumah kami. Segera setelah paramedis dan saya menempatkan Abd al-Halim di dalam kendaraan, peluru mulai ditembakkan ke arah kami," sambung dia.

Baca Juga: Israel Balas Dendam, Robohkan Rumah Warga Palestina di Tepi Barat

1. Pembantaian Shujaiya yang merenggut 7 nyawa 

Seorang pria Palestina berdoa ketika polisi Israel berkumpul selama bentrokan di kompleks Masjid Al-Aqsa, Jumat (7/5/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad)

Serangan itu dikenal warga Palestina sebagai pembantaian pasar populer Shujaiya. Peristiwa itu merenggut 17 nyawa, termasuk tujuh anak, seorang jurnalis, dua paramedis, dan seorang pekerja pertahanan sipil.

Peristiwa itu adalah bagian dari serangan Israel yang ditargetkan di pemukiman yang dihuni 92 ribu penduduk, yang dimulai pada 19 Juli. Tentara Israel mengklaim daerah itu telah menjadi salah satu sumber utama peluncuran roket Palestina selama konflik, yang telah dimulai 11 hari sebelumnya.

Pada 19 Juli saja, Israel membunuh sekitar 75 warga sipil di Shujaiya, kebanyakan dari mereka wanita dan anak-anak. Serangan skala luas dan pertempuran sengit berlanjut selama 10 hari.

Saksi mata mengatakan serangan udara Israel di pasar Shujaiya juga menargetkan mereka yang bergegas ke tempat kejadian untuk membantu yang terluka. Silk termasuk di antara 200 korban yang terluka dalam serangan itu.

Dia pingsan sesaat setelah terkena pecahan peluru di beberapa bagian tubuhnya, termasuk ginjal, hati, pankreas, dan tulang rusuk. Dia dipindahkan ke rumah sakit al-Shifa, di mana kakinya diamputasi.

Setelah delapan hari dan menjalani operasi empat kali, Silk terbangun dari komanya.

"Ketika membuka mata, saya meminta dokter untuk membiarkan saya pergi untuk melihat kuburan anak-anak saya, dan kemudian saya menangis," ungkapnya.

Tetapi dia dalam perawatan intensif pada saat itu dan bahkan tidak diizinkan untuk melihat istrinya.

Silk dipindahkan dari unit perawatan intensif pada 20 Agustus dan dipulangkan dari rumah sakit pada 13 September, ketika ia kembali ke rumahnya dan dihadapkan dengan dampak pengeboman.

“Salah satu momen tersulit yang tidak pernah bisa saya lupakan adalah ketika saya bertemu dengan ibu saya untuk pertama kalinya (setelah meninggalkan rumah sakit). Saya berpikir, apakah saya harus terlebih dahulu menyampaikan belasungkawa kepadanya untuk anak-anak saya, atau untuk ayah saya, atau keponakan-keponakan saya?" kata dia.

“Setelah beberapa hari, saya pergi ke kuburan bersama saudara laki-laki saya. Saya pikir saya mendengar putra saya yang berusia dua tahun, Abd al-Aziz, memanggil saya, mengatakan 'Baba, saya di kuburan masih hidup'. Saya memberi tahu ke saudara saya, dia memeluk saya dan memberi tahu saya bahwa putra saya telah dimakamkan lebih dari 50 hari sebelumnya," sambungnya. 

Silk dan istrinya memutuskan untuk pindah dari rumah mereka yang dibom di Gaza timur untuk tinggal bersama ibu dan tiga saudara perempuannya, yang juga masih di Shujaiya.

"Saya tidak bisa tinggal di rumah saya tanpa anak-anak saya. Saya bahkan tidak bisa membayangkannya tanpa hiruk pikuk mereka," katanya.

Silk dan istrinya tidak lagi dapat memiliki anak, karena salah satu testisnya diangkat akibat cedera, dan biaya perawatan IVF dengan lebih dari 2.500 dollar AS, yang tak mampu mereka peroleh.

Pada 2021, serangan Israel lainnya di Jalur Gaza menghancurkan gedung Kuhail tempatnya bekerja. Bangunan enam lantai itu menampung kantor dan pusat pembelajaran, beberapa di antaranya berafiliasi dengan Universitas Islam Gaza di dekatnya.

Dengan mata pencahariannya yang dilucuti, orang yang diamputasi itu sekarang memenuhi kebutuhannya sebagai pengemudi Uber.

“Mereka membunuh anak-anak saya, membom perpustakaan saya, yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan saya, dan membuat saya tidak memiliki anak baru. Ini adalah malapetaka dalam segala hal. Saya tidak tahan lagi menderita. Alhamdulillah untuk semuanya," ujar dia. 

2. Perjuangan paramedis kala serangan terjadi 

Ilustrasi ambulance milik Bulan Sabit Merah Palestina. (Twitter.com/@PalestineRCS)

Serangan Israel 2014 di Gaza berlangsung dari 8 Juli hingga 26 Agustus, menewaskan 2.251 warga Palestina termasuk 1.462 warga sipil. Di Israel, 67 tentara tewas dan enam warga sipil.

Selain kehancuran 18 ribu rumah dan ratusan warga sipil cacat permanen, infrastruktur medis Gaza juga menderita kerugian besar. Kerusakan dilaporkan pada 73 rumah sakit dan ambulans dan sejumlah staf medis tewas.

Ketika rumah keluarga Silk dibom, paramedis Ibrahim Abu al-Kas tiba di tempat kejadian dalam beberapa menit, tepat setelah rekannya Abd al-Razak al-Beltagy sampai.

“Ketika saya memasuki gedung, bom mulai menghujani kami. Saya bersembunyi di bawah tangga dengan seorang anak berusia 17 tahun, sembari membaca doa dan menunggu ajal saya,” katanya.

"Kemudian saya melihat al-Beltagy dan dua ambulans menjadi sasaran tepat di depan mata saya," kata lelaki berusia 45 tahun itu.

Kehilangan Beltagy adalah kenyataan yang tak tertahankan yang harus diterima oleh Kas.

"Dia bukan hanya kolega saya, dia adalah saudara laki-laki dan ayah saya. Kami melakukan hampir semua shift kami bersama, dan saya kehilangan dia dalam sekejap. Saya bahkan tidak bisa menghadiri pemakamannya karena tuntutan pekerjaan kami," terangnya.

Meskipun terdapat ratusan panggilan dari lingkungan yang dibombardir untuk meminta bantuan, Kas telah diberitahu oleh Palang Merah bahwa Israel tidak akan mengizinkan staf medis memasuki daerah itu untuk membantu yang terluka.

"Pada jam 9 pagi, setelah hampir empat jam menunggu izin yang tidak diberikan Israel kepada kami, akhirnya kami memutuskan untuk masuk dengan dua ambulans," kata dia. 

Dia ingat bau darah tercium di udara, rumah rusak berat, dan jalan sengaja ditargetkan untuk menghentikan ambulans lewat.  

"Setelah saya tidak yakin berapa lama, lebih banyak ambulans tiba, dan kami mulai mengangkut mayat dan yang terluka," tambah dia. 

Di tengah kekacauan dan teriakkan minta tolong, termasuk dari kerabatnya sendiri, Kas berusaha untuk tetap pada protokol kerjanya dan menyelamatkan wanita dan anak-anak terlebih dahulu.

Kemudian dia melihat mayat rekannya Foad Jaber dan jurnalis Khalid Hamad tergeletak di jalan. Hamad syuting di sebelah Jaber, yang sedang menyelamatkan orang.

Kas memberi tahu MEE bahwa, meskipun dia berhasil melanjutkan hidupnya meskipun mengingat serangan itu, dia akan selalu mengingat saat dia bersembunyi di bawah tangga rumah Silk, menunggu hidupnya berakhir.

Baca Juga: Joe Biden ke Palestina, Kunjungi Yerusalem dan Tepi Barat 

Verified Writer

Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya