Sistem Politik Lebanon: Pembagian Kekuasaan Kristen, Sunni, dan Syiah
Pemerintahan Lebanon dikuasai oleh Sunni, Syiah, dan Maronit
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pemilihan parlemen Lebanon akan diselenggarakan tidak lama lagi. Perhelatan yang direncanakan pada Mei mendatang itu akan menjadi momen dalam ‘pertarungan’ antar sekte yang ada di negara tersebut, untuk berebut kuasa di pemerintahan.
Lebanon merupakan salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang menerapkan sistem sektarian atau pemisahan berdasarkan kelompok tertentu. Sistem sektarian ini kemudian diadopsi dalam sistem politik negara tersebut. Sistem semacam ini disebut sebagai konfesionalisme.
Adanya pembagian dalam sistem politik berbasis sekte juga menempatkan politik Lebanon sebagai salah satu bentuk yang rumit.
Lalu, bagaimana sebenarnya bentuk sistem politik di Lebanon dan apa latar belakang pembentukannya, serta apakah sistem ini mampu bertahan? Berikut fakta-fakta seputar sistem politik dan pemerintahan Lebanon.
Baca Juga: PM Lebanon Tak Ingin Maju Pemilu Parlemen: Untuk Generasi Baru
1. Awal mula sistem politik Lebanon
Dilansir Canadians for Justice & Peace in the Middle East (CJPME), banyak akademisi yakin bahwa konfesionalisme sudah hadir di Lebanon sejak abad ke-13. Kemudian, sejak Lebanon diduduki oleh kolonial Prancis pada 1920-an, hal yang sama juga mulai diterapkan atas dorongan kaum Kristen Maronit.
Kala itu, sistem ini didominasi oleh Maronit sendiri, di mana mereka menguasai hampir sepenuhnya kursi pemerintahan sentral.
Lahirnya pembagian kekuasaan ini dilandasi upaya Prancis dan Maronit dalam menyatukan Lebanon Raya yang terdiri dari wilayah Mont-Liban, yang diduduki Maronit, dengan wilayah pesisir Beirut, Sidon, Tirus dan Tripoli, serta Lembah Bekaa, yang diduduki sebagian besar muslim.
Masyarakat Arab, terutama Suriah, saat itu menentang keras klaim tersebut dan menyarankan agar wilayah itu tetap berada di bawah kendali Suriah. Sementara, komunitas Maronit dan Prancis tetap bersikukuh atas klaimnya itu.
Barulah pada 1943, ketika kolonialisme Prancis berakhir, masyarakat muslim setuju untuk lepas dari wilayah Arab dan bergabung dengan Lebanon. Kekuasaan kemudian dibagi untuk masing-masing agama dan sekte dalam sebuah perjanjian yang disebut Pakta Nasional.
Pembagian kekuasaan masa itu dilakukan berdasarkan bobot demografis Lebanon, dengan perbandingan 6:5 untuk Kristen dan Muslim di parlemen berdasarkan sensus 1932 di bawah mandat Prancis.
Konstitusi menjamin semua 18 sekte agama di negara itu dan memastikan semuanya memiliki perwakilan di pemerintahan, militer, dan pegawai negeri. Sistem ini dilihat sebagai upaya untuk memastikan kesetaraan dalam pemerintahan, di mana Lebanon merupakan negara yang plural.
Yang paling utama adalah tiga posisi kunci pemerintahan negara yang diduduki oleh tiga sekte besar yakni kursi presiden oleh Kristen maronit, perdana menteri oleh muslim sunni, dan ketua parlemen oleh muslim syiah.
Baca Juga: Sekjen Hizbullah Lebanon Tuduh Arab Saudi Kirim Teroris ke Irak
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.