TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sistem Politik Lebanon: Pembagian Kekuasaan Kristen, Sunni, dan Syiah

Pemerintahan Lebanon dikuasai oleh Sunni, Syiah, dan Maronit

Bendera Lebanon berkibar. (Unsplash.com/Charbel Karam)

Jakarta, IDN Times - Pemilihan parlemen Lebanon akan diselenggarakan tidak lama lagi. Perhelatan yang direncanakan pada Mei mendatang itu akan menjadi momen dalam ‘pertarungan’ antar sekte yang ada di negara tersebut, untuk berebut kuasa di pemerintahan.

Lebanon merupakan salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang menerapkan sistem sektarian atau pemisahan berdasarkan kelompok tertentu. Sistem sektarian ini kemudian diadopsi dalam sistem politik negara tersebut. Sistem semacam ini disebut sebagai konfesionalisme.

Adanya pembagian dalam sistem politik berbasis sekte juga menempatkan politik Lebanon sebagai salah satu bentuk yang rumit.

Lalu, bagaimana sebenarnya bentuk sistem politik di Lebanon dan apa latar belakang pembentukannya, serta apakah sistem ini mampu bertahan? Berikut fakta-fakta seputar sistem politik dan pemerintahan Lebanon. 

Baca Juga: PM Lebanon Tak Ingin Maju Pemilu Parlemen: Untuk Generasi Baru

1. Awal mula sistem politik Lebanon 

Penduduk Lebanon dalam sebuah aksi protes (Unsplash/Christelle Hayek)

Dilansir Canadians for Justice & Peace in the Middle East (CJPME), banyak akademisi yakin bahwa konfesionalisme sudah hadir di Lebanon sejak abad ke-13. Kemudian, sejak Lebanon diduduki oleh kolonial Prancis pada 1920-an, hal yang sama juga mulai diterapkan atas dorongan kaum Kristen Maronit.

Kala itu, sistem ini didominasi oleh Maronit sendiri, di mana mereka menguasai hampir sepenuhnya kursi pemerintahan sentral.

Lahirnya pembagian kekuasaan ini dilandasi upaya Prancis dan Maronit dalam menyatukan Lebanon Raya yang terdiri dari wilayah Mont-Liban, yang diduduki Maronit, dengan wilayah pesisir Beirut, Sidon, Tirus dan Tripoli, serta Lembah Bekaa, yang diduduki sebagian besar muslim.

Masyarakat Arab, terutama Suriah, saat itu menentang keras klaim tersebut dan menyarankan agar wilayah itu tetap berada di bawah kendali Suriah. Sementara, komunitas Maronit dan Prancis tetap bersikukuh atas klaimnya itu.

Barulah pada 1943, ketika kolonialisme Prancis berakhir, masyarakat muslim setuju untuk lepas dari wilayah Arab dan bergabung dengan Lebanon. Kekuasaan kemudian dibagi untuk masing-masing agama dan sekte dalam sebuah perjanjian yang disebut Pakta Nasional.

Pembagian kekuasaan masa itu dilakukan berdasarkan bobot demografis Lebanon, dengan perbandingan 6:5 untuk Kristen dan Muslim di parlemen berdasarkan sensus 1932 di bawah mandat Prancis.

Konstitusi menjamin semua 18 sekte agama di negara itu dan memastikan semuanya memiliki perwakilan di pemerintahan, militer, dan pegawai negeri. Sistem ini dilihat sebagai upaya untuk memastikan kesetaraan dalam pemerintahan, di mana Lebanon merupakan negara yang plural.

Yang paling utama adalah tiga posisi kunci pemerintahan negara yang diduduki oleh tiga sekte besar yakni kursi presiden oleh Kristen maronit, perdana menteri oleh muslim sunni, dan ketua parlemen oleh muslim syiah.

2. Perang saudara dan lahirnya Kesepakatan Thaif 

Ilustrasi tandatangan perjanjian (pixabay.com/Narcis Ciocan)

Pakta Nasional 1943 mampu berjalan selama tiga dekade, hingga pada 1975 di mana Lebanon dilanda perang saudara. Konflik yang berlangsung dari 1975 hingga 1989 itu ditandai dengan pergeseran aliansi dan perpecahan sektarian. Ditambah lagi dengan invasi Israel pada 1982.

Perang ini berakhir ketika kondisi di antara pihak-pihak yang bertikai di Lebanon dan di wilayah yang lebih luas bertemu untuk memungkinkan penghentian konflik. Berbagai upaya lalu dinegosiasikan dengan bantuan para pemimpin internasional.

Akhirnya, pada 1989 disepakati sebuah perjanjian yakni Kesepakatan Thaif, yang diteken oleh anggota parlemen Lebanon di Thaif, Arab Saudi. Kesepakatan itu kemudian melanggengkan sistem konfesionalisme di Lebanon.

Yang berbeda dari sebelumnya yakni sistem pembagian kekuasan diubah menjadi 50 banding 50 untuk Kristen dan Muslim di parlemen. Sementara, dominasi ketiga sekte dalam kursi utama, yakni presiden, perdana menteri, dan ketua parlemen, tetap diakui.

Sebagai informasi, politik Lebanon sangat dipengaruhi oleh agama. Konstitusi menjamin perwakilan dalam pemerintahan berdasarkan sekte agama, dan partai politik yang berkuasa lebih ditentukan oleh afiliasi agama daripada kebijakan ekonomi atau sosial.

Menurut laman Central Intelligence Agency (CIA) pada 2020, tercatat populasi Muslim sebanyak 67,8 persen, di mana 31,9 persen di antaranya adalah sunni dan 31,2 persen syiah.

Di lain pihak, ada Kristen dengan 32,4 persen yang didominasi Maronit, dan Druze hanya 4,5 persen. Beberapa agama lain seperti Yahudi, Baha'i, Buddha, dan Hindu hanya memiliki populasi yang sangat kecil. Saat ini, populasi Lebanon sekitar 6,7 juta jiwa berdasarkan data dari World Population Review pada 2022.

Baca Juga: Sekjen Hizbullah Lebanon Tuduh Arab Saudi Kirim Teroris ke Irak

Verified Writer

Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya