Bentrok akibat Krisis Ekonomi, Sri Lanka Umumkan Status Darurat Publik

Jakarta, IDN Times - Krisis ekonomi di Sri Lanka telah memicu orang-orang melakukan protes. Kekerasan terjadi di ibu kota Colombo dan puluhan orang ditangkap. Dengan situasi yang terus memburuk, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa pada Jumat (1/4/22) malam, mengumumkan status darurat publik untuk negaranya.
Sri Lanka telah mengalami krisis ekonomi dan semakin parah ketika dihantam oleh badai COVID-19. Negara itu telah melakukan kebijakan pemadaman listrik karena kurangnya bahan bakar. Beberapa bahan penting lain juga mulai menghilang dari pasaran.
Masyarakat melakukan protes sejak Kamis (31/3/22). Protes berujung kekerasan yang melibatkan bentrokan dengan pasukan keamanan, di mana mereka berusaha membubarkan massa dengan gas air mata dan meriam air. Puluhan petugas dikabarkan terluka dan puluhan peserta protes ditangkap.
1. Protes sporadis yang berujung aksi kekerasan
Krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka saat ini adalah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang melakukan protes karena menilai pemerintah telah gagal menyelesaikan masalah tersebut.
Tuntuntan agar Presiden Rajapaksa mundur dari jabatan juga terdengar. Dalam protes pada Kamis di sekitar kediaman presiden, orang-orang membawa lampu minyak dan membawa plakat bertuliskan "Saatnya Rajapaksa mundur."
Dikutip dari Al Jazeera, protes secara sporadis kemudian menyebar di beberapa kota di Sri Lanka selatan, tengah dan utara. Di Provinsi Barat, polisi bahkan memberlakukan jam malam yang berarti melarang perjalanan malam hari. Ibu kota Kolombo tercakup dalam aturan tersebut.
Massa yang berkumpul di dekat kediamaan presiden, sempat terlibat bentrokan dengan petugas keamanan. Protes lalu berubah menjadi aksi kekerasan. Dua bus militer dibakar, satu jip polisi hancur dan sebuah sepeda motor patroli serta satu kendaraan roda tiga tak luput dari amuk masa. Petugas keamanan dilempari dengan batu bata. Sebanyak 53 demonstran pun ditangkap, termasuk lima fotografer media.