Uganda Hukum Berat Pelaku LGBTQ+, AS Balas dengan Sanksi

Larang masuk pejabat Uganda ke AS

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menerapkan pembatasan visa kepada pejabat Uganda, mulai Jumat (16/6/2023). Kebijakan tersebut diterapkan setelah Uganda memberlakukan hukuman maksimum mati dan seumur hidup kepada warga yang teridentifikasi sebagai LGBTQ+. 

Presiden Uganda, Yoweri Museveni, meresmikan hukuman mati kepada orang yang terbukti melakukan, mempromosikan, dan mendanai hubungan sesama jenis pada akhir Mei. Keputusan kontroversial Uganda ini menyulut kecaman dari berbagai negara-negara Barat, termasuk AS. 

Baca Juga: Uganda Sahkan UU Anti LGBTQ Paling Ekstrem di Dunia

1. AS tidak sebutkan nama pejabat yang masuk dalam sanksi

Uganda Hukum Berat Pelaku LGBTQ+, AS Balas dengan Sanksiilustrasi bendera LGBTQ+ (pexels.com/@karolina-grabowska)

Kementerian Luar Negeri AS tidak menyatakan nama dan jumlah pejabat Uganda yang mendapat sanksi pembatasan masuk. Namun, pembatasan akan dilakukan pada sejumlah orang yang terbukti melakukan kejahatan kepada hak asasi manusia (HAM). 

"Amerika Serikat mendukung penuh rakyat Uganda dan tetap berkomitmen dalam menghargai hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan fundamental di Uganda maupun di seluruh dunia," ungkap Kemlu AS, dilansir Reuters.

Pekan lalu, Menlu Antony Blinken sudah mengungkapkan rencana pembatasan visa kepada pihak yang menerapkan hukuman berat pada pelaku LGBTQ+. Bahkan, Presiden Joe Biden telah menyatakan keinginannya untuk mencabut dana bantuan ke Uganda dan disusul sanksi lainnya. 

Baca Juga: 11 Anggota Parlemen Perempuan Uganda Ditangkap saat Aksi Protes

2. AS umumkan anjuran perjalanan bagi warganya ke Uganda

Pada Senin (12/6/2023), AS telah memperbarui anjuran perjalanan ke Uganda menyusul penetapan Hukum Anti-Homoseksual. Pasalnya, akan ada risiko serangan dan hujatan oleh kelompok tertentu kepada warganya yang termasuk LGBTQ+. 

Sebelum itu, AS sudah memperingatkan warganya agar berpikir ulang sebelum bepergian ke Uganda akibat tingginya serangan teroris dan maraknya kasus kejahatan. 

Dilansir Africa News, Uganda memrotes tindakan AS dan mengklaim bahwa negaranya adalah negara berdaulat yang berhak menentukan hukum kepada rakyatnya. 

"AS harus tahu bahwa Uganda adalah negara berdaulat yang berhak memberlakukan hukum kepada warganya dan tidak bagi negara Barat. Mereka mungkin dapat menerapkan anjuran perjalanan, tapi perlu diketahui ancaman tidak boleh ada di dunia modern ini," kata Menteri Informasi Uganda, Chris Baryomunsi. 

Baca Juga: Menteri Uganda Didakwa Mencuri Atap Logam untuk Bantuan Warga

3. Warga menghindari klinik HIV di Uganda

Setelah diberlakukannya Hukum Anti-Homoseksual di Uganda, sejumlah pusat perawatan HIV/AIDS terpantai sepi. Menurut staf di sana, paling tidak terdapat 50 pasien setiap hari untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. 

Dokter di klinik medis yang didanai AS memperingatkan bahwa wabah baru HIV akan terbentuk seiring banyaknya orang yang tidak memeriksakan diri. Mereka takut didentifikasi sebagai LGBTQ+ dan ditangkap sesuai dengan UU baru. 

"Komunitas LGBTQ+ di Uganda sedang dalam lockdown saat ini. Mereka tidak menggunakan layanan pencegahan. Mereka tidak bisa mengakses kondom dan mengakses ARTS atau antiretroviral," ungkapnya. 

Pada tahun ini, klinik di Kampala disebut sukses dalam melawan HIV di Uganda. Negara Afrika bagian tengah itu dikenal sebagai pusat wabah HIV dengan 1,4 juta kasus dan 17 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat terjangkit HIV. 

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya