Menurut CSIS, salah satu opsi militer Israel tanpa bantuan AS adalah dengan melancarkan serangan bertubi-tubi menggunakan bom yang mereka punya. Opsi ini tidak bertujuan menghancurkan fasilitas secara total, tetapi membuatnya tidak dapat beroperasi untuk waktu yang lama dengan menargetkan infrastruktur di permukaan.
"Israel kemungkinan bisa menghancurkan pintu masuk terowongan hingga cukup jauh ke dalam, dan yang pasti menghancurkan sistem ventilasi. Jika Anda menghancurkan terowongan dan pasokan listriknya, butuh waktu berbulan-bulan sebelum mereka benar-benar bisa beroperasi kembali," ujar David Albright, kepala Institute for Science and International Security (ISIS), dilansir dari CNN.
Opsi kedua yang sangat dipertimbangkan adalah sabotase, sebuah taktik di mana Israel memiliki rekam jejak yang signifikan. Metode ini bisa mencakup serangan siber canggih seperti Stuxnet yang pernah melumpuhkan Natanz, atau operasi intelijen untuk menyusup dan merusak komponen vital dari dalam.
Pilihan lain yang lebih berisiko adalah operasi pasukan khusus di darat. Salah satu rencana yang pernah dipaparkan ke pejabat AS adalah mengerahkan tim komando dengan helikopter untuk menyusup ke lokasi, bertempur masuk, dan memasang bahan peledak untuk menghancurkan fasilitas dari dalam, dilansir NYT.
Secara teoretis, ada pula opsi gila dengan menggunakan senjata nuklir taktis berdaya ledak rendah. Namun, penggunaan senjata semacam itu sangat tabu dan dapat memicu konsekuensi kemanusiaan, politik serta lingkungan yang katastropik.
Fasilitas nuklir Fordo bisa menjadi titik krusial dari ketegangan kali ini. Jika AS memutuskan untuk terlibat menembus Fordo, eskalasi konflik bisa terjadi di Timur Tengah yang sejak awal sudah panas. Iran sendiri telah memperingatkan AS untuk tidak ikut campur dalam konflik ini dan menjanjikan serangan balasan. Opsi yang paling aman adalah diplomasi untuk mencari jalan tengah dari konflik ini.