128 Perempuan Tigray Alami Kekerasan Seksual usai Perjanjian Damai

Korban bahkan ada yang berusia 8 tahun

Jakarta, IDN Times - Pelecehan seksual terhadap perempuan di wilayah Tigray, bagian utara Ethiopia, terus berlanjut setelah setahun perjanjian damai yang mengakhiri konflik di sana.

Menurut penelitian dari catatan medis yang dirilis pada Kamis (24/8/2023), sedikitnya 128 pelecehan seksual terjadi usai perjanjian perdamaian ditandatangani pada November lalu. Adapun gadis termuda yang diperkosa berusia 8 tahun.

Konflik Tigray sejak November 2020 telah menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan ribuan perempuan dewasa dan anak-anak mengalami kekerasan seksual.

Mayoritas korban pelecehan dibiarkan tanpa pengobatan selama berbulan-bulan, karena sebagian besar fasilitas kesehatan dihancurkan atau dijarah ketika pasukan Ethiopia memerangi pejuang Tigray.

Beberapa dari mereka kini mengidap HIV atau membesarkan anak-anak pemerkosanya, sementara yang lainnya hidup dengan inkontinensia atau nyeri kronis.

1. Banyak korban diperkosa secara berkelompok

Studi yang dilakukan oleh Physicians for Human Rights dan Organisasi untuk Keadilan dan Akuntabilitas di Tanduk Afrika, bersama dengan komentar di jurnal medis The Lancet, mengamati lebih dari 300 catatan medis yang dipilih secara acak dari pusat kesehatan Tigray yang fokus membantu para penyintas kekerasan seksual.

Para peneliti mengatakan, angka tersebut hanyalah sebagian kecil dari jumlah korban yang ada. Mereka khawatir kesempatan untuk mendapatkan keadilan akan hilang jika upaya akuntabilitas independen yang dilakukan oleh PBB dan negara-negara lain terhenti.

“Semua komunitas adalah korban kekerasan seksual. Para penyintas pemerkosaan, merekalah yang paling menderita," kata seorang peneliti, dikutip dari Associated Press. 

Menurut penelitian yang mengamati catatan dari awal konflik pada November 2020 hingga Juni 2023, setidaknya ada 128 pelecehan seksual yang terjadi usai perjanjian perdamaian ditandatangani.

Secara keseluruhan, 76 persen dari 304 korban mengaku dilecehkan secara seksual oleh beberapa pria sekaligus, sering kali tiga orang atau lebih. Salah satunya bahkan diserang oleh 19 pria.

Dalam 94 persen kasus, tidak ada kondom yang digunakan. Banyak pelaku juga membawa senjata, tongkat atau pisau. Beberapa perempuan bahkan diculik untuk diperkosa berulang kali.

“Mereka membawanya ke kamp dan memperkosanya selama enam bulan,” menurut salah satu catatan medis yang dikutip oleh penelitian tersebut.

Baca Juga: Eritrea: Tuduhan Kami Lakukan Pelanggaran HAM di Tigray Hanya Fantasi

2. Pelaku merupakan anggota militer

Hampir semua korban mengatakan bahwa pemerkosa terlihat seperti anggota militer, sering juga dari negara tetangga Eritrea, yang tentaranya bertempur bersama pasukan Ethiopia melawan pejuang Tigray. Pasukan tersebut diduga masih berada di wilayah barat dan utara Tigray.

"Temuan ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan ini tidak dilakukan secara terpisah atau acak, melainkan penggunaan pemerkosaan secara sistematis sebagai senjata perang,” tulis penulis studi tersebut dalam komentar The Lancet.

Organisasi hak asasi manusia telah mendokumentasikan penyerangan seksual, pemerkosaan, dan bentuk kekerasan seksual lainnya yang dilakukan oleh tentara Ethiopia dan sekutunya.

“Jelas bahwa pemerkosaan dan kekerasan seksual telah digunakan sebagai senjata perang untuk menimbulkan kerusakan fisik dan psikologis jangka panjang terhadap perempuan dan anak-anak di Tigray,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty, Agnes Callamard, pada 2021 lalu, dikutip dari DW.

“Sungguh mengerikan dan menyedihkan bahkan membaca narasi para pasien. Kebrutalan ini tidak mengabaikan anak-anak. Banyak juga yang diperkosa oleh banyak pelaku," kata Ranit Mishori, penasihat medis senior di Physicians for Human Rights, dalam sebuah wawancara. 

Mishori dan rekannya, pejabat program senior Lindsey Green, menyatakan keprihatinan mereka bahwa upaya independen untuk memahami dampak konflik dan memberikan akuntabilitas kepada para pelaku semakin melemah, atau bahkan terhenti karena adanya tekanan dari pihak berwenang.

“Yang paling mengganggu saya adalah kurangnya fokus terhadap kejahatan ini,” kata Green.

3. Ethiopia halangi penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia

Pascakonflik, Ethiopia ingin kembali menjalin hubungan dengan mitra-mitra utama seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan lembaga keuangan global. Pada Kamis, Ethiopia diumumkan sebagai anggota baru blok ekonomi BRICS.

Meski demikian, negara itu dengan tajam mengkritik upaya pihak luar untuk mendorong keadilan dan akuntabilitas. Penyelidikan hak asasi manusia di Uni Afrika secara diam-diam dihentikan awal tahun ini. Kini Ethiopia ingin penyelidikan PBB juga diakhiri, kata pakar hak asasi manusia.

“Dunia memiliki mekanisme akuntabilitas, namun hampir semuanya berada di tangan diplomat dan politisi, dan hal ini merupakan resep kegagalan,” kata Martin Witteveen, pakar hukum pidana internasional yang bekerja di Komisi Hak Asasi Manusia Ethiopia yang dibentuk pemerintah hingga awal 2022.

Dia mengatakan Ethiopia sendiri sulit menjamin akuntabilitas ketika pasukan dan sekutunya melakukan sebagian besar kejahatan.

Baca Juga: Komunitas LGBTQ+ Ethiopia Hadapi Kekerasan dan Ancaman di TikTok

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya