Pasukan militer Israel dalam sebuah aksi penyelematan nyawa yang dilakukan oleh Unit 669 (Unit Penyelamatan Khusus Taktis) selama perang di Gaza. (instagram.com/@israeliairforce)
Dilansir VOA, Analis Nicholas Heras dari New Lines Institute yang berbasis di Washington mengatakan bahwa meskipun Hizbullah dan Israel meningkatkan serangan mereka dalam beberapa pekan terakhir, batasannya tetap dipertahankan untuk saat ini.
“Di kedua sisi perbatasan, penduduk sipil terkena dampak langsung dari pola eskalasi/deeskalasi yang sangat lemah antara Israel, Hizbullah, dan Iran. Ada perasaan dari kedua sisi perbatasan bahwa ada urusan yang belum selesai. Ada pengakuan bahwa sesuatu yang besar bisa saja terjadi akibat atmosfer saat ini,” kata Heras.
Analis perdamaiana asal Lebanon, Dania Koleilat Khatib, mengatakan, Amerika Serikat dan Prancis telah mencoba berdiplomasi untuk mendesak Hizbullah mundur dari perbatasan dan mengerahkan lebih banyak pemantau internasional. Namun Hizbullah sejauh ini menolak.
“Israel menginginkan jaminan yang kuat. Mereka tidak dapat mengambil kembali risiko seperti kejadian 7 Oktober. Hizbullah terpojok. Mereka tidak menginginkan perang. Jika mereka terpojok, mereka akan berperang. Itu sebabnya inilah saatnya untuk diplomasi. Untuk menemukan penyangga yang akan memberikan jaminan bagi kedua belah pihak,” kata Khatib.
Heras juga telah memperingatkan bahwa akan ada risiko besar jika perang meletus. Menurutnya, Israel mengetahui bahwa Iran telah mempersenjatai Hizbullah dengan ratusan ribu senjata, termasuk rudal berpemandu presisi.
Dia mengatakan persenjataan tersebut berpotensi menimbulkan kehancuran material dan bencana ekonomi di Israel.