Komisi Sejarah: Prancis Tidak Terlibat Genosida Rwanda

Prancis dianggap gagal menghentikan pembantaian

Paris, IDN Times - Hubungan Prancis dan Rwanda telah memburuk selama hampir tiga dekade karena Prancis dituduh terlibat dalam genosida Rwanda di tahun 1994, yang menewaskan sekitar 800.000 orang, terutama dari populasi minoritas etnis Tutsi.

Untuk mengakhiri tuduhan itu dan mengetahui kebenaran dari dugaan terlibat dalam genosida, maka Presiden Prancis Emmanuel Macron dua tahun lalu membentuk sebuah komisi penyelidikan sejarah yang beranggotakan 15 orang, dengan dipimpin oleh sejarawan Vincent Duclert. Laporan penyelidikan komisi tersebut yang setebal 1.200 halaman telah diberikan kepada Macron pada Jumat, 26 Maret.

1. Prancis menjalin hubungan dengan rezim yang melakukan pembantaian rasis

Melansir dari The Guardian, hasil laporan tersebut mengkonfirmasi tuduhan yang panjang dan terus-menerus bahwa Prancis tidak berbuat cukup untuk menghentikan pembunuhan, namun dari laporan itu menjelaskan bahwa tidak ada bukti keterlibatan Prancis dalam pembantaian.

”Krisis Rwanda berakhir dengan bencana bagi Rwanda dan kekalahan bagi Prancis. Tapi apakah Prancis terlibat dalam genosida Tutsi? Jika ini berarti kesediaan untuk dikaitkan dengan usaha genosida, tidak ada satu pun arsip yang dikonsultasikan yang membuktikannya. Namun demikian, untuk waktu yang lama Prancis terlibat dengan rezim yang mendorong pembantaian rasis. Itu tetap buta terhadap persiapan genosida oleh elemen paling radikal dari rezim ini." Berdasarkan laporan tersebut.

Pemerintah Rwanda telah merespon laporan tersebut dan menyebutnya sebagai "langkah penting menuju pemahaman bersama tentang peran Prancis dalam genosida" dan menyampaikan bahwa Rwanda akan menerbitkan studinya sendiri dalam beberapa minggu mendatang.

Melansir dari BBC, laporan tersebut menyalahkan Presiden Prancis saat itu, Francois Mitterrand, atas "kegagalan" kebijakan terhadap Rwanda pada tahun 1994. Temuan ini dipublikasikan setelah bertahun-tahun kerahasiaan resmi Prancis atas kaitannya dengan Hutu yang memerintah Rwanda. Hutu memerintah Rwanda ketika genosida terjadi, pada bulan April-Juni 1994, tetapi mereka kemudian digulingkan oleh Front Patriotik Rwanda (RPF) yang dipimpin Tutsi di bawah Paul Kagame, yang sekarang menjadi presiden. Mitterrand yang saat itu memimpin Prancis diketahui memiliki hubungan dekat dengan mantan Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang etnis Hutu.

Laporan itu diharapkan dapat memperbaiki hubungan antara Prancis dan Rwanda. Macron dikabarkan berniat mengunjungi Rwanda tahun ini.

2. Operasi militer Prancis dianggap mendukung genosida

Komisi Sejarah: Prancis Tidak Terlibat Genosida RwandaPada Juni 1994 PBB mengizinkan Prancis menempatkan pasukan militer di Rwanda yang disebut Operasi Turquoise. Sumber:unsplash.com/Diego González

Baca Juga: Pahlawan dalam Film Hotel Rwanda Terancam Pidana Terorisme

Melansir dari The Guardian, genosida di Rwanda terjadi setelah pesawat yang membawa Juvenal Habyarimana dan presiden Burundi saat itu Cyprien Ntaryamira, dijatuhkan pada tanggal 6 April 1994. Karena insiden itu pembantaian dimulai keesokan harinya dan berlanjut hingga 15 Juli. Lebih dari 100 hari milisi bersenjata membantai anggota kelompok etnis Tutsi dan beberapa Hutu moderat dalam gelombang kebrutalan yang mengejutkan komunitas internasional, namun tidak ada negara luar yang turun tangan untuk menghentikan pembataian.

Banyak orang-orang di desa kecil dibunuh oleh tetangganya sendiri dengan menggunakan parang dan senapan. Diperkirakan ada 250.000 hingga 500.000 wanita telah diperkosa selama peristiwa kelam tersebut.

Pasukan Prancis memimpin intervensi militer-kemanusiaan yang disebut Operasi Turquoise yang  dimulai dari Juni 1994 hingga Agustus 1994, namun kehadirannya dianggap sebagai pendukung pemerintah Hutu yang bertanggung jawab atas genosida, klaim laporan itu menegaskan.

Komisi tersebut mengatakan Paris telah mengadopsi "skema biner yang menentang di satu sisi teman Hutu, yang diwujudkan oleh Presiden Habyarimana, dan di sisi lain musuh digambarkan sebagai 'Uganda-Tutsi' untuk merujuk RPF (Front Patriotik Rwanda). Pada saat genosida, lambat dalam memutuskan dengan pemerintah sementara yang melakukan genosida dan terus menempatkan ancaman RPF di puncak agendanya. Ini bereaksi terlambat dengan Operasi Turquoise, yang menyelamatkan banyak nyawa, tetapi tidak bagi sebagian besar Tutsi Rwanda, yang dimusnahkan pada minggu-minggu pertama genosida. Oleh karena itu, penelitian tersebut menetapkan serangkaian tanggung jawab, berat dan luar biasa." Penjelasan laporan itu.

3. Para komisi sejarah bukan spesialis Rwanda

Komisi Sejarah: Prancis Tidak Terlibat Genosida RwandaIlustrasi arsip penting Prancis yang diteliti oleh komisi sejarah yang dibentuk oleh Presiden Emmanuel Macron. Sumber:unsplash.com/ Maksym Kaharlytskyi

Melansir dari France 24, komisi yang beranggotakan 15 orang itu tidak memiliki spesialis apa pun tentang Rwanda, yang menurut Macron hal itu diperlukan untuk memastikan netralitas sepenuhnya.

Tetapi para sejarawan termasuk para ahli tentang kejahatan Holocaust, pembantaian orang-orang Armenia selama Perang Dunia I, dan ahli hukum pidana internasional diberi akses ke arsip termasuk arsip Mitterrand sendiri, yang sudah lama tertutup bagi para peneliti.

Tindakan Macron telah memposisikan Prancis sebagai pemain yang tegas di panggung dunia. Macron berani mengambil keputusan untuk menyelidiki arsip-arsip yang dianggap tabu dalam catatan sejarah negara, meskipun banyak yang ingin melihat langkah yang jauh lebih berani.

Sejarawan Benjamin Stora, yang ditugaskan untuk memeriksa tindakan Prancis selama perang kemerdekaan Aljazair, menyerukan "komisi kebenaran" dan tindakan perdamaian lainnya dalam sebuah laporan besar yang disampaikan pada bulan Januari, namun Macron telah mengesampingkan permintaan maaf resmi atas penyiksaan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan Prancis di Aljazair.

Melansir dari BBC, sebelumnya arsip mengenai Rwanda tidak boleh diteliti. Pada 2015, Presiden saat itu Francois Hollande mengumumkan bahwa arsip Rwanda akan dibuka, namun dua tahun kemudian, ketika seorang peneliti meminta izin untuk mempelajarinya, Dewan Konstitusi Prancis memutuskan bahwa arsip tersebut harus tetap dirahasiakan.

Baca Juga: Mitos Perempuan Rwanda Punya Jenggot Jika Makan Daging Kambing

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya