Larangan Homoseksualitas di Malawi Digugat, Kelompok Agama Gelar Demo

Pasangan sesama jenis berusaha menentang larangan

Jakarta, IDN Times - Puluhan kelompok agama dan gereja turun ke jalan di beberapa kota di Malawi untuk melakukan aksi protes anti-LGBT pada Kamis (13/7/2023). Protes tersebut untuk menentang upaya hukum pasangan jenis yang mengajukan gugatan terhadap undang-undang pelarangan homoseksualitas. 

Persidangan kasus yang dimulai pada 17 Juli itu akan digelar selama dua hari. Jika gugatan tersebut dikabulkan, itu akan mengubah aturan di Malawi saat ini yang menyatakan hubungan seksual sesama jenis merupakan aktivitas ilegal.

Baca Juga: Melawat ke Afrika, Presiden Raisi dan Uganda Kutuk Praktik LGBTQ

1. Gereja menentang tindakan yang dianggap berdosa

Larangan Homoseksualitas di Malawi Digugat, Kelompok Agama Gelar DemoIlustrasi gereja. (Unsplash.com/Virgil Cayasa)

Dilansir The Guardian, pendeta Alemekezeke Chikondi Phiri, sekretaris Jenderal Dewan Gereja Malawi (MCC), mengatakan gereja-gereja Kristen tidak menentang individu, tapi praktik homoseksualitas adalah dosa. Phiri ikut mengatur aksi demonstrasi di kota Lilongwe, Blantyre, Mzuzu, dan Zomba.

“Sama seperti gereja yang memperhatikan semua orang berdosa, dan ingin mereka bertobat, hal yang sama juga akan dilakukan dengan pria gay dan lesbian. Setiap upaya untuk melegitimasi tindakan berdosa akan menemui perlawanan dari komunitas agama,” kata Phiri.

“Jika ada upaya untuk melegitimasi prostitusi, sihir, kebinatangan dan korupsi antara lain, kami akan selalu angkat bicara. Itu tidak berarti kami menghasut kekerasan terhadap individu yang terlibat dalam tindakan berdosa ini karena turun ke jalan adalah hak konstitusional kami sebagai warga Malawi."

Pemuka agama itu juga mengatakan dewan akan mengambil tindakan untuk melindungi kesucian pernikahan.

“Bagian 22 konstitusi Malawi sangat jelas bahwa merupakan tugas negara dan masyarakat untuk melindungi pernikahan dan bagian yang sama berbicara tentang pria dan wanita,” katanya.

Baca Juga: Malawi Minta Bantuan Internasional usai Dilanda Topan Freddy

2. Pasangan sesama jenis berusaha membatalkan larangan pernikahan

Dilansir France 24, demonstrasi bertepatan dengan kasus di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Jan Willem Akstar, seorang warga Belanda, dan Jana Gonani, seorang transgender perempuan setempat. Pasangan sesama jenis ini berupaya untuk membatalkan larangan pernikahan sesama jenis, dengan anggapan larangan itu melanggar hak privasi dan martabat.

Aktivitas seksual sesama jenis merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana di Malawi. Berdasarkan aturan yang berlaku, aktivitas tersebut dapat dihukum hingga 14 tahun penjara.

Keduanya secara terpisah menghadapi dakwaan di bawah undang-undang era kolonial yang melarang sodomi. Gonani dijatuhi hukuman delapan tahun penjara pada 2021, sementara Akstar, 51, saat ini sedang menghadapi kasus pelecehan seksual terkait tuduhan saat bekerja untuk badan amal bantuan keuangan di Blantyre.

Kementerian Kehakiman Malawi mengeluarkan moratorium penangkapan dan penuntutan untuk tindakan homoseksual konsensual pada 2012, tapi perintah tersebut ditangguhkan oleh Pengadilan Tinggi pada 2016, sambil menunggu tinjauan yudisial.

3. Tindakan protes dianggap sebagai diskriminasi

Larangan Homoseksualitas di Malawi Digugat, Kelompok Agama Gelar DemoBendera pelangi yang merupakan simbol bagi kelompok LGBT. (Unsplash.com/Ian Taylor)

Sementara itu Allie Mwachande, perwakilan aktivis yang menentang aksi protes, mengatakan itu hanya akan menghasut diskriminasi dan kekerasan serius terhadap orang-orang LGBTQ+. Padahal menurutnya, golongan tersebut sudah menghadapi kesulitan, termasuk akses terbatas ke layanan kesehatan.

“Apa yang dilakukan gereja adalah diskriminasi total dan tidak manusiawi karena tidak menghormati hak-hak minoritas di Malawi. Saya percaya sebagai gereja mereka seharusnya berada di garis depan dalam mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia," kata Mwachande yang mewakili Jaringan Pemimpin Agama Malawi yang Hidup dengan atau Secara Pribadi Terkena Dampak HIV dan AIDS (Manerela+).

"Dengan turun ke jalan, kemungkinan akan memicu kekerasan terhadap kelompok minoritas. Nyatanya, aksi mereka bertentangan dengan apa yang ada di pengadilan, dan saya bertanya-tanya apakah mereka benar-benar memahami apa yang mereka lakukan karena kasusnya bukan tentang melegalkan homoseksualitas."

Eric Sambisa, salah satu pendiri dan direktur eksekutif Nyasa Rainbow Alliance, mengatakan selain kekerasan, komunitas LGBTQ+ di Malawi juga menghadapi tantangan untuk mengakses keadilan. Dia khawatir unjuk rasa tersebut akan memperburuk situasi yang dihadapi komunitas yang sudah kurang beruntung.

Pengacara yang mewakili Gonani, Bob Chimkango, mengatakan protes tersebut tidak akan mempengaruhi proses di pengadilan dan Gonani menantikan harinya di pengadilan.

“Kami sudah siap sejak hari pertama, dan kami bersiap untuk melanjutkan pada hari yang ditentukan karena kami sudah lama menantikan sidang ini. Protes oleh komunitas agama sama sekali tidak akan mempengaruhi pengadilan, pengadilan bersifat independen dan tidak memihak," kata Chimkango.

"Komunitas iman melewatkan satu hal. Kamu mungkin memperhatikan bahwa mereka sebenarnya mencoba untuk 'memperingatkan' Majelis Nasional ketika tidak ada undang-undang semacam itu di parlemen dan mereka tetap mengacu pada pernikahan sesama jenis ketika tidak ada yang mengajukan petisi ke pengadilan sehubungan dengan pernikahan."

Chimkango berharap para pengujuk rasa setelah menyampaikan petisi mereka tidak akan berkumpul di luar pengadilan saat persidangan pada pekan depan, tapi akan membawa perdamaian dan keadilan.

Baca Juga: Kamerun Tolak Kehadiran Duta Besar LGBTQ Prancis

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya