Makin Dibenci Warga Lokal, Prancis Akhiri Operasi Terorisme di Sahel
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Presiden Emmanuel Macron, pada Rabu (9/11/2022), mengumumkan bahwa Prancis akan segera mengakhiri operasi kontrateroris Barkhane di Sahel, Afrika, yang telah berlangsung selama hampir satu dekade.
Operasi Barkhane sudah berhenti beroperasi sejak Februari, setelah Prancis mengumumkan penarikan pasukan dari Mali. Saat ini ada ketegangan yang meningkat antara Prancis dengan Mali.
1. Macron akan menerapkan strategi baru dalam melawan teroris
Menurut Macron, keputusan itu tidak akan mengabaikan perang melawan terorisme di Sahel, tapi akan menerapkan starategi baru bersama dengan mitra Afrika.
"Saya telah memutuskan dalam koordinasi dengan mitra kami, untuk meresmikan akhir Operasi Barkhane sebagai konsekuensi dari apa yang kami alami dalam beberapa bulan terakhir," katanya, dikutip dari Anadolu Agency.
“Dukungan militer kami untuk negara-negara Afrika di kawasan itu akan terus berlanjut, tetapi menurut prinsip-prinsip baru yang telah kami tetapkan bersama mereka," tambahnya.
Macron mengatakan bahwa komitmen bersama mitra Afrika sekarang difokuskan pada kerja sama logistik dan dukungan untuk tentara mereka.
“Pada dasarnya, kemitraan kami hanya masuk akal jika itu adalah kemitraan sejati yang menanggapi kebutuhan eksplisit yang datang dari tentara Afrika, dan jika itu melengkapi kemitraan ekonomi, politik dan administrasi di negara-negara itu," terang dia.
Baca Juga: Mengenang Ghafur Akbar Dharmaputra: Pahlawan Indonesia di Ukraina
2. Sekitar 3 ribu pasukan Prancis akan tetap di Niger, Chad, dan Burkina Faso
Editor’s picks
Melansir BBC, Operasi Barkhane diluncurkan pada 2013 untuk membendung kemajuan pemberontak di Mali. Kemudian negara-negara lain dalam kemitraan ini adalah Niger, Chad, Burkina Faso, dan Mauritania.
Pada puncak Operasi Barkhane, ada 5.500 tentara Prancis yang berpartisipasi dalam misi tersebut. Saat ini sekitar 3 ribu tentara Prancis akan tetap berada di Niger, Chad, dan Burkina Faso.
Namun, sekarang kehadiran tentara Prancis tidak akan bertindak secara independen, melainkan dalam tindakan terkoordinasi dengan tentara nasional. Keberadaan para tentara ini tidak akan memiliki nama resmi, yang menunjukkan bahwa itu bukan lagi "operasi eksternal" seperti Barkhane.
Macron telah menyampaikan bahwa Prancis akan mengubah status, format, dan misi pangkalannya di Afrika.
"Intervensi kita harus lebih dibatasi waktu dan dari awal. Kami tidak ingin tetap terlibat untuk waktu yang tidak terbatas dalam operasi asing,” katanya.
3. Pasukan Prancis menghadapi permusuhan
Saat ini, kehadiran pasukan Prancis menghadapi permusuhan dari penduduk lokal. Pengaruh Prancis semakin hilang karena adanya pengaruh dari Rusia.
Junta di Mali telah menuduh Prancis terlalu ikut campur tangan dan sebagai gantinya telah beralih untuk menjalin kemitraan dengan organisasi tentara bayaran dari Rusia, Wagner.
Elie Tenenbaum, spesialis pertahanan di Institut Hubungan Internasional Prancis, menyebut operasi Paris mengalami kegagalan.
“Tujuan awalnya adalah untuk menghentikan penyebaran jihadisme di Sahel dan untuk menjalin kemitraan yang kuat dengan tentara Mali. Hari ini kemitraan strategis itu sedang berantakan sementara jihadisme meluas dengan sendirinya lebih luas di wilayah ini, dan berakar sendiri lebih dalam di masyarakat," kata Tenenbaum.
Kudeta terbaru di Burkina Faso menunjukkan pengunjuk rasa anti-Prancis mengibarkan bendera Rusia, yang dipandang sebagai cara untuk meningkatkan permusuhan orang-orang di wilayah itu terhadap Prancis.
Baca Juga: Prancis Desak AS-China Beri Kompensasi atas Dampak Krisis Iklim
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.