Inggris-Prancis Sepakati Skema Pengungsi Timbal Balik, Apa Itu?

- Skema awal menyasar 50 orang per minggu dan bisa diperluas.
- Presiden Prancis telah diberi informasi soal peningkatan penangkapan pekerja ilegal di Inggris.
- Prancis minta dana tambahan guna mencegat perahu imigran ilegal.
Jakarta, IDN Times – Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden Prancis Emmanuel Macron hampir menyelesaikan skema baru untuk menekan arus migrasi ilegal di Selat Inggris. Rencana ini memungkinkan Inggris mendeportasi pengungsi ke Prancis, dengan imbalan menerima jumlah yang sama dari pencari suaka dengan ikatan kuat di Inggris. Kesepakatan itu dijadwalkan diumumkan Kamis (10/7/2025) saat penutupan pertemuan bilateral mereka.
Pengumuman ini akan menandai puncak kunjungan kenegaraan Macron selama tiga hari di Inggris. Starmer menganggap kesepakatan ini penting untuk menekan migrasi gelap di tengah naiknya dukungan terhadap partai sayap kanan Reform UK.
“Kami menghadirkan taktik baru dan tingkat niat baru untuk menangani migrasi ilegal dan mematahkan model bisnis geng kriminal,” kata Starmer, dikutip dari Al Jazeera.
1. Skema awal menyasar 50 orang per minggu dan bisa diperluas
Menurut laporan harian Prancis Le Monde, skema ini pada tahap awal akan mencakup sekitar 50 orang setiap minggu. Angka tersebut setara dengan sekitar 2.600 pengungsi per tahun berdasarkan data dari media Inggris. Jika terbukti efektif, rencana ini akan diperluas dalam skema jangka panjang, kata sumber pemerintah kepada The Times.
Dilansir dari The Guardian, hingga Kamis pagi, pembahasan teknis seperti waktu pelaksanaan masih berlangsung antara pejabat kedua negara. Namun, beberapa kendala dari negara Eropa lain yang sebelumnya menolak skema ini kini disebut telah terselesaikan. Seorang sumber Prancis menyebut permintaan dana tambahan untuk membayar polisi di pantai utara sangat sensitif secara politik.
2. Migrasi ilegal pecah rekor, skema Rwanda ditinggalkan

Lebih dari 21 ribu orang telah menyeberangi Selat Inggris dengan perahu kecil sepanjang tahun ini. Pada Rabu (9/7/2025), kantor Starmer menyatakan bahwa Macron telah diberi informasi soal peningkatan penangkapan pekerja ilegal di Inggris. Pemerintah juga mengusulkan penggunaan biometrik oleh petugas Pasukan Perbatasan untuk memastikan status kerja migran.
Sebelumnya, menteri Konservatif di pemerintahan terdahulu sempat hampir mencapai kesepakatan serupa. Namun, Prancis ragu karena khawatir skema itu justru memancing lebih banyak migran akibat ekonomi bayangan di Inggris. Menteri Imigrasi Robert Jenrick bahkan sempat menyarankan agar Inggris menerima lebih dari satu pencari suaka untuk setiap deportasi, namun usulan itu tidak terwujud.
Partai Buruh menyatakan alasan mereka bisa membuat kemajuan adalah karena telah menghentikan skema deportasi ke Rwanda yang kontroversial. Langkah ini disebut membuka ruang kerja sama lebih konkret dengan Prancis. Dalam dokumen kebijakan imigrasi mereka, pemerintahan baru fokus pada solusi yang lebih realistis dan berbasis data.
3. Prancis minta dana tambahan, kerja sama militer ikut dibahas

Prancis baru-baru ini setuju untuk mencegat perahu migran di laut hingga jarak 300 meter dari garis pantainya. Sebagai gantinya, Paris meminta tambahan dana untuk membiayai polisi, perahu, dan drone guna menegakkan kebijakan tersebut. Inggris sendiri sudah meneken perjanjian senilai 480 juta poundsterling dua tahun lalu untuk membantu patroli di wilayah utara Prancis.
Di luar isu migrasi, kedua pemimpin juga membahas kerja sama militer dan nuklir. Starmer dan Macron sepakat untuk memesan tambahan rudal Storm Shadow yang saat ini digunakan di Ukraina. Mereka juga menandatangani perjanjian baru yang memungkinkan koordinasi pencegah nuklir kedua negara untuk pertama kalinya.
Pada Kamis, keduanya dijadwalkan bergabung dalam pertemuan koalisi yang bersedia terkait Ukraina. Forum ini beranggotakan negara-negara yang membuka peluang untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke wilayah konflik tersebut. Pertemuan itu menjadi bagian dari upaya jangka panjang mendukung stabilitas kawasan.