Kenapa Afrika Alami Krisis Situs UNESCO?

Antara 'ketidakseimbangan' UNESCO atau minimnya dana

Jakarta, IDN Times - UNESCO adalah organisasi di bawah naungan PBB yang bergerak dalam bidang warisan situs bersejarah baik benda atau tak benda di dunia. Kita semua tahu bahwa di Indonesia sudah terdapat banyak tempat atau wisata indah yang diakui UNESCO, antara lain Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Taman Nasional Komodo.

Telah menjadi fakta pula bahwa Eropa merupakan lokasi situs UNESCO terbanyak di dunia, yaitu hampir lima puluh persen! Di sisi lain, ternyata terdapat satu kawasan yang masih jarang "dijamah". Benua Afrika sampai hari ini merupakan rumah untuk hanya kurang dari sembilan persen situs UNESCO. Maka dari itu, organisasi internasional tersebut masih dianggap belum "seimbang" sehingga sering dipertanyakan integritasnya.

1. 'Keeksklusifan' UNESCO yang kontroversial

Kenapa Afrika Alami Krisis Situs UNESCO?Pulau Gorée, salah satu situs UNESCO Afrika pertama dari Senegal (unsplash.com/E. Diop)

UNESCO pernah mengadakan konvensi pada tahun 1972 di Paris yang membahas tentang perlindungan situs atau cagar budaya dan alam di seluruh dunia. Dilansir DW, seorang arkeolog dari Kenya yang bernama George Abungu bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa konvensi tersebut diadakan oleh "orang-orang berkulit putih". Oleh sebab itu, muncul persepsi bahwa UNESCO sangat "berbau" Eropa karena organisasi tersebut diurus dan didominasi oleh orang-orang Eropa 

Selain tuduhan "Eurosentris" terhadap UNESCO, Abungu melanjutkan bahwa terdapat sebuah tantangan tersendiri yang tentunya tidak mudah. Untuk memperoleh pengakuan dan nama di UNESCO, setiap negara di Afrika harus berjuang keras untuk meyakinkan kepada orang-orang barat bahwa Afrika memiliki warisan budaya yang sangat kaya dan beragam sehingga pantas diakui dan dihargai.

Seorang akademisi dari Institut Antropologi Sosial Max Planck yang setuju dengan argumen Abungu, Christoph Brumann, menambahkan bahwa para elit Eropa juga diduga memiliki pengaruh atau ikut campur dalam urusan UNESCO. Terlebih lagi, tempat-tempat yang berpotensi dan menarik, yang tentunya dalam perspektif barat, lebih diutamakan oleh UNESCO, antara lain katedral dan istana.   

2. Afrika memiliki keterbatasan dana dan pengalaman dalam bidang ini

Kenapa Afrika Alami Krisis Situs UNESCO?Gereja St. George, situs UNESCO terunik di Lalibela, Ethiopia, yang jatuh ke tangan pemberontak Tigray awal Agustus ini (unsplash.com/mulugeta wolde)

Kritikan akan "perlakuan" UNESCO terhadap Afrika sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Akan tetapi, terdapat sebuah alasan internal yang juga menghambat warisan budaya atau alam Afrika untuk lebih diakui di dunia. Para pemerintah di sana masih jarang mau menominasikannya ke UNESCO karena betapa kompleksnya penulisan ratusan hingga ribuan halaman dokumen untuk proses nominasi. Brumann juga mengatakan bahwa negara-negara yang sudah terbiasa, paham akan segala prosedur yang ditetapkan, dan memiliki banyak dana, tentu tidak mengalami kesulitan dalam application tersebut.

Sekalipun suatu negara di Afrika sukses memiliki sebuah situs yang diakui sebagai warisan UNESCO, terdapat salah satu ancaman yang terkadang masih tidak dapat terhindarkan, yaitu peperangan. Sampai hari ini, Afrika dilanda oleh banyak sekali peperangan di berbagai negara yang menyebabkan krisis. Dilansir BBC, salah satu warisan UNESCO di Ethiopia, yaitu Gereja St. George yang berlokasi di Kota Lalibela, dikuasai oleh pemberontak Tigray yang anti-pemerintah pada awal Agustus tahun ini.  

Baca Juga: Afrika Barat Terancam Ebola, Marburg dan COVID-19 Sekaligus

3. UNESCO berjanji untuk lebih memperhatikan Afrika

Kenapa Afrika Alami Krisis Situs UNESCO?Taman Nasional Gunung Kilimanjaro, salah situs UNESCO yang paling terkenal di Afrika (unsplash.com/Crispin Jones)

Direktur UNESCO, Mechtild Rössler, akhirnya angkat bicara dan menjelaskan bahwa pihaknya menyadari berbagai isu tersebut, tapi menyatakan organisasinya telah memiliki langkah positif. African World Heritage Fund  "dibanggakan" dan diutamakan sebagai sumber dana dari seluruh dunia untuk membantu negara-negara Afrika. Namun, George Abungu secara keras menyanggah bahwa African World Heritage Fund tidak bisa diharapkan karena masih belum bekerja dengan efektif. Maka dari itu, upaya UNESCO untuk "menyeimbangkan" dapat dikatakan belum berhasil.

Pemerintah juga takut tidak dapat melakukan pembangunan di masing-masing negara mereka apabila beralih ke urusan situs warisan budaya Afrika. Terlebih lagi, telah diketahui bahwa banyak diantaranya yang sudah terancam dan tidak dapat diselamatkan, seperti beberapa situs di Republik Demokratik Kongo yang terpaksa "didepak" dari daftar UNESCO karena rusak akibat peperangan atau eksploitasi alam. Hal tersebut akan diperparah karena politisi-politisi Afrika masih terus sibuk mengurus kepentingannya sendiri dan mencari keuntungan semata.

Akhir kata, bantuan yang nyata dari kawasan-kawasan yang maju, salah satunya adalah Eropa, merupakan solusi terakhir. Bagi Abungu, cara untuk melindungi warisan-warisan budaya maupun alam yang berharga di Benua Afrika agar bisa dinominasikan ke UNESCO adalah kesediaan negara-negara barat untuk berinvestasi lebih ke Afrika. Di samping itu, pemerintah setempat dan generasi-generasi muda yang mewakili institusi pendidikan perlu ikut serta memberi dukungan.  

Baca Juga: Semuanya Takluk dengan Eropa, Ini 5 Kerajaan Makmur di Afrika Tengah

Juan A. Soedjatmiko Photo Verified Writer Juan A. Soedjatmiko

Mohon maaf apabila terdapat kesalahan informasi atau kata dalam artikel

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya