Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi jurnalis (pexels.com/Ahmed akacha)
ilustrasi jurnalis (pexels.com/Ahmed akacha)

Jakarta, IDN Times - Tentara Israel dilaporkan sengaja menargetkan jurnalis Palestina saat mereka mulai mengepung dan menyerang kota Jabalia di Gaza utara sejak akhir pekan.

Pada Rabu (9/10/2024), tentara Israel membunuh jurnalis Palestina, Mohammed al-Tanani, dan melukai rekannya Tamer Lubbad. Keduanya bekerja di Al-Aqsa TV, media yang dituduh Israel berafiliasi dengan Hamas. Seorang penembak jitu Israel juga menembak kamerawan Al Jazeera, Fadi al-Wahidi, yang kini dalam kondisi kritis.

“Insiden ini menandai satu lagi pelanggaran berat terhadap jurnalis di Gaza, di mana pasukan Israel semakin memusuhi pekerja media,” kata Al Jazeera dalam pernyataan yang mengecam serangan tersebut.

“Al-Wahidi meliput pemboman Israel dan invasi darat ke kamp Jabalia, yang telah memasuki hari kelima. Militer Israel telah memerintahkan semua penduduk untuk mengevakuasi kamp, ​​​​namun terus menargetkan siapa pun yang mencoba untuk pindah," tambahnya.

1. Jurnalis pertaruhkan nyawa demi mendokumentasikan tindakan Israel

Begitu kendaraan Israel memasuki Jabalia, jurnalis lokal, yang sebagian besar merupakan pekerja lepas, bergegas untuk mendokumentasikan kejahatan Israel di area tersebut.

"Meski situasi berbahaya, kami harus mengambil tindakan sendiri untuk fokus dan menyoroti semua kejahatan Israel terhadap rakyat kami," kata salah satu jurnalis yang berbasis di Jabalia, yang tidak ingin menyebutkan namanya, kepada TNA.

Ia menceritakan bagaimana tentara Israel melepaskan tembakan langsung ke arah al-Tanani, Lubbad, al-Wahidi, dan semua jurnalis yang ada di sana untuk membunuh mereka semua.

"Kami (jurnalis) tahu bahwa kami berada di garis tembak militer dan bahwa mereka dapat menargetkan kami secara langsung untuk menutupi kebenaran dan mencegah kami mendokumentasikan kejahatan, tetapi kami tetap bertekad untuk melanjutkan pekerjaan kami meskipun dalam keadaan berbahaya," ungkapnya.

Seorang jurnalis lainnya, yang juga memilih untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa mereka berusaha melawan militer Israel dengan lensa kamera demi menunjukkan apa yang terjadi di Gaza utara.

"Saya sering menangis karena intensitas pemandangan mengerikan yang saya potret karena saya tidak mampu menyelamatkan para korban. Dan di lain waktu, saya terpaksa meninggalkan kamera untuk mengangkut beberapa yang terluka jika saya bisa," ujarnya.

2. Rompi pers justru menempatkan jurnalis dalam bahaya

Sejak dimulainya agresi Israel di Gaza pada Oktober 2023, otoritas Israel telah melarang jurnalis asing memasuki wilayah Palestina itu secara legal untuk meliput peristiwa di sana. Hal ini mendorong para jurnalis lokal untuk meliput sendiri apa yang terjadi, meskipun mereka harus menghadapi risiko kematian akibat serangan pasukan Israel.

Dalam upaya melindungi diri di lapangan, semua jurnalis mengenakan rompi pers. Namun, seorang jurnalis Palestina mengatakan bahwa tanda pengenal ini justru menempatkan mereka dalam bahaya.

"Rompi ini seharusnya mengidentifikasi kami dan melindungi kami di bawah hukum internasional dan Konvensi Jenewa. Sekarang, rompi ini justru menjadi ancaman bagi kami," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa tentara Israel telah menargetkannya lebih dari sekali saat ia mendokumentasikan kejahatan mereka terhadap warga sipil. Ia juga menyaksikan tentara membunuh rekannya di depan matanya.

"Dunia menyaksikan pembunuhan sistematis terhadap kami semua (jurnalis dan warga sipil) dan belum berupaya menekan Israel untuk menghentikan kejahatannya. Yang paling mengkhawatirkan saya adalah bahwa ini tidak memicu skandal di seluruh dunia. Saya tidak mendengar suara-suara dari berbagai pemerintahan yang mengeluhkan hal ini," tambahnya.

3. Israel telah bunuh 176 jurnalis Palestina sejak dimulainya perang

Menurut kantor media pemerintah di Gaza, tentara Israel telah membunuh 176 jurnalis Palestina selama setahun terakhir. Sedikitnya 36 jurnalis juga telah ditangkap, dengan 4 di antaranya dibebaskan.

“Angka-angka ini menunjukkan besarnya bahaya yang dihadapi jurnalis, karena mereka menjadi sasaran secara sistematis, dan mencerminkan kebijakan pendudukan yang bertujuan membungkam kebebasan berpendapat,” kata Ismail Thawabta, kepala kantor media pemerintah.

Ia menjelaskan bahwa jurnalis memiliki peran penting dalam menyampaikan kebenaran, karena media di Gaza merupakan elemen esensial dalam mendokumentasikan dan mengungkap fakta-fakta. Hal ini berkontribusi pada peningkatan kesadaran di kalangan komunitas lokal dan internasional mengenai apa yang terjadi melalui laporan-laporan yang dapat diandalkan.

“Jika 176 jurnalis Israel dibunuh di tempat lain, saya rasa reaksi dunia tidak akan diam, namun ketika kita berbicara tentang seorang jurnalis Palestina, sayangnya semua orang diam,” ujar Shorouk Asaad, anggota Sekretariat Jenderal Serikat Pekerja.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorFatimah