Kericuhan Mematikan Terjadi di Gudang Pangan PBB di Gaza

Jakarta, IDN Times - Ratusan warga Palestina yang kelaparan menyerbu gudang Program Pangan Dunia (WFP) di Deir al-Balah, Gaza tengah, pada Rabu (28/5/2025) demi mendapatkan makanan.
Insiden ini terjadi di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk akibat blokade Israel yang telah membatasi pasokan selama 11 minggu.
Kericuhan itu menewaskan sedikitnya empat orang, dua terinjak dalam kepanikan, dua lainnya tewas karena tembakan, menurut laporan rumah sakit. Kejadian ini mencerminkan kondisi putus asa warga Gaza yang terancam kelaparan massal.
1. Krisis pangan mendorong aksi nekat
Sejak 2 Maret 2025, blokade Israel hampir menghentikan seluruh bantuan masuk ke Gaza. Meski dilonggarkan 10 hari lalu, aliran bantuan masih jauh dari cukup bagi 2,3 juta penduduk. Gudang WFP yang diserbu berisi makanan untuk distribusi, namun warga yang putus asa tak sanggup menunggu lebih lama.
Video yang sudah diverifikasi memperlihatkan kerumunan merobohkan pagar dan mengambil karung tepung serta kotak bantuan di tengah suara tembakan. Belum diketahui siapa yang menembak.
“Kami tidak punya apa-apa lagi. Anak-anak kami kelaparan,” kata Abu Amr, warga setempat, dikutip dari CNN.
WFP menyebut insiden ini sebagai hasil dari kebutuhan kemanusiaan yang telah lepas kendali dan mendesak peningkatan pasokan makanan.
“Gaza membutuhkan bantuan besar agar warga yakin mereka tidak akan kelaparan,” ujar pernyataan resmi WFP.
2. Konflik distribusi bantuan meningkat
Sehari sebelumnya, pada Selasa (27/5/2025), peristiwa serupa terjadi di titik distribusi bantuan di Rafah milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF), kelompok yang didukung Israel dan Amerika Serikat (AS).
Dilansir Associated Press, kerumunan merobohkan pagar, memicu tembakan peringatan dari militer Israel. Satu orang tewas dan 48 terluka, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
GHF menyatakan kontraktor mereka tidak melepaskan tembakan, sementara militer Israel mengaku hanya menembakkan peringatan. Namun, UNRWA dan lembaga kemanusiaan lain menolak bekerja sama dengan GHF, menilai sistem itu tidak netral dan berpotensi dijadikan alat kontrol Israel.
“Bantuan yang digunakan untuk menutupi kekerasan adalah bagian dari strategi militer,” kata NGO ActionAid, dikutip dari The Guardian.
Utusan PBB untuk Timur Tengah, Sigrid Kaag, menyebut bantuan yang diizinkan Israel masuk seperti sekoci setelah kapal tenggelam, menyoroti ketidakcukupan pasokan. Ia mendesak dibukanya seluruh jalur bantuan dan percepatan izin distribusi logistik yang tertahan di perbatasan.
3. Tekanan internasional dan tantangan politik
Israel mengakhiri blokade 11 minggu pada 19 Mei 2025 setelah tekanan internasional, termasuk dari AS. Namun, dari 93 truk bantuan yang masuk pada 27 Mei, tidak ada yang berhasil didistribusikan karena prosedur rumit, termasuk keharusan memuat ulang pasokan di sisi Palestina perbatasan Kerem Shalom.
“Kami menunggu berjam-jam untuk izin, tapi bantuan tidak kunjung sampai ke gudang,” kata juru bicara PBB Stéphane Dujarric.
Presiden AS, Donald Trump, mengatakan pihaknya berupaya mempercepat pengiriman bantuan. Namun, sistem distribusi GHF tetap menuai kritik karena dianggap memaksa warga pindah ke zona kemanusiaan di selatan Gaza, yang dinilai melanggar hukum internasional.
“Ini bukan soal memenuhi kebutuhan, tapi memindahkan penduduk secara paksa,” ujar seorang pejabat PBB, dikutip dari Al Jazeera.
Krisis ini berlangsung di tengah perang yang telah berjalan selama 600 hari dan menewaskan lebih dari 54 ribu warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.