Laporan PBB: Bank Thailand Paling Banyak Danai Militer Myanmar

Jakarta, IDN Times - Pelapor hak asasi manusia PBB, Tom Andrews, mengatakan dalam laporan terbarunya bahwa bank-bank di Thailand jadi sumber utama Myanmar membeli senjata dan pasokan militer.
Laporan berjudul "Banking on the Death Trade: How Banks and Governments Enable the Military Junta in Myanmar" itu terbit pada Rabu (26/6/2024). Ada 16 bank di tujuh negara yang terlibat transaksi pengadaan militer Myanmar pada 2023.
Sebelum mendapat sanksi, entitas di Singapura yang memasok pendanaan tersebut memfasilitasi lebih dari 70 persen pembelian militer lewat perbankan formal pada 2022. Pada 2023, angkanya mengalami penurunan drastis menjadi di bawah 20 persen. Namun terjadi lonjakan pasokan pendanaan dari negara tetangga Thailand.
1. Perusahaan Thailand ambil keuntungan dari sanksi dan pemblokiran
Andrews menelusuri bagaimana junta Myanmar terus melakukan pengadaan senjata dengan mengalihkan pemasok jasa keuangan dan pembelian perangkat keras militer. Ini karena sebelumnya sumber-sumber pendanaan telah diblokir oleh sanksi Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE) dan negara-negara lain.
Dilansir Associated Press, dalam laporannya, Andrews menuduh perusahaan-perusahaan di Thailand telah mengambil keuntungan dari pemblokiran tersebut.
"Dewan Administrasi Negara (Myanmar) terus terlibat dengan jaringan perbankan internasional yang luas untuk mempertahankan diri dan pasokan senjatanya," katanya.
"Selama setahun terakhir, 16 bank yang berlokasi di tujuh negara memproses transaksi terkait pengadaan militer SAC (State Administration Council)," tambahnya.
2. Pembelian perlengkapan militer junta dari luar negeri menurun
Sepanjang April 2023 dan Maret 2024, junta Myanmar memperoleh senjata, teknologi penggunaan ganda, peralatan manufaktur, dan bahan mentah dari asing. Nilainya mencapai 253 juta dolar (Rp4,1 triliun)
"Dengan mengandalkan lembaga keuangan yang bersedia melakukan bisnis dengan bank-bank milik negara Myanmar yang berada di bawah kendalinya, junta memiliki akses terhadap layanan keuangan yang diperlukan untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia sistematis, termasuk serangan udara terhadap warga sipil," kata Andrews, dikutip CNN.
Andrews mengatakan bahwa volume dan perlengkapan militer yang dibeli junta dari luar negeri telah menurun sepertiga dari 2023.
"Kabar baiknya adalah junta semakin terisolasi. Kabar buruknya adalah junta menghindari sanksi dan tindakan lain dengan mengeksploitasi kesenjangan dalam sanksi, dan mengganti lembaga keuangan," tambahnya.
3. Bank punya kewajiban untuk tidak memfasilitasi kejahatan

Dalam lapoan tersebut, junta diketahui mengimpor senjata dan pasokan militer senilai hampir 130 juta dolar (Rp2,1 triliun) hingga akhir Maret 2024. Ini lebih dari dua kali lipat jumlah total tahun sebelumnya.
Dilansir UN News, bank-bank Thailand yang memainkan peran penting tersebut. Misalnya, Siam Commercial Bank memfasilitasi lebih dari 5 juta dolar (Rp81,9 miliar) transaksi terkait militer Myanmar pada akhir 2023. Jumlah itu meningkat tajam di tahun berikutnya hingga lebih dari 100 juta dolar (Rp1,6 triliun).
Sebelumnya, perusahaan di Singapura memasok sebagian besar pendanaan. Tapi setelah diselidiki, aliran dana tersebut kemudian turun hampir 90 persen.
"Banyak pembelian SAC yang sebelumnya dilakukan dari entitas yang berbasis di Singapura, termasuk suku cadang untuk helikopter Mi-17 dan Mi-35 yang digunakan untuk melakukan serangan udara terhadap sasaran sipil, kini bersumber dari Thailand," jelas Andrews.
Pihaknya mendesak perusahaan-perusahaan untuk berhenti melakukan transaksi tersebut.
"Bank mempunyai kewajiban mendasar untuk tidak memfasilitasi kejahatan, dan ini termasuk kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan," ujarnya.