Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)
Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

Intinya sih...

  • Kuil Bulguksa merupakan warisan budaya UNESCO sejak 1995
  • Kuil ini menjadi pusat peradaban Buddha di era Silla, dengan nilai spiritual yang tinggi
  • Kuil ini memiliki banyak artefak bersejarah dan simbol penting, seperti jembatan dan pagoda

Gyeongju, IDN Times - Gyeongju menjadi salah satu destinasi andalan Korea Selatan dengan kekayaan budaya dan nilai-nilainya yang masih asli. Salah satu destinasi favorit yang selalu didatangi turis ketika datang ke Gyeongju adalah Kuil Bulguksa.

Kuil ini memang punya sejarah panjang dan sudah berdiri sejak abad enam. Di dalam kuil ini, ada tujuh artefak bersejarah yang merupakan harta karun Korea Selatan. Dengan fakta tersebut, Kuil Bulguksa akhirnya masuk ke dalam salah satu warisan budaya UNESCO sejak 1995 silam.

IDN Times memiliki kesempatan menyambangi Kuil Bulguksa pekan lalu, bersama 13 jurnalis lain melalui program Indonesia Next Generation Journalist by Korea Foundation X FPCI. Yuk ikuti pengalaman yang tak terlupakan lewat tulisan di bawah ini.

Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

1. Disambut empat raja langit, jangan ngomong sembarangan

Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

Kuil Bulguksa menjadi salah satu bagian dari dinasti Silla, salah satu kerajaan yang pernah berkuasa dan punya pengaruh besar dalam penyatuan Semenanjung Korea. Dalam sejarahnya, kuil ini punya tempat tersendiri karena merupakan pusat dari peradaban Buddha di era Silla.

Secara harfiah, Bulguksa berarti Kuil Tanah Buddha. Penamaannya juga menjadi perwujudan atas semangat religi masyarakat selama dinasti Silla. Kuil ini dibangun atas kepercayaan untuk menghubungkan dunia nyata dan spiritual.

Nilai-nilai tersebut tercermin ketika kita hendak masuk ke kuil. Saat mau memasuki gerbang utama, kita sudah disambut oleh empat patung besar di kiri dan kanan, yang merupakan representasi empat raja langit, Damun Cheonwang, Gwangmok Cheonwang, Jeungjang Cheonwang, dan Jiguk Cheonwang.

Diyakini, keempatnya menyambut kita saat masuk ke dunia spiritual melalui gerbang utama. Setelah melewati gerbang, para pengunjung, termasuk IDN Times, kala itu diminta tak berkata kasar atas alasan sopan santun dan spiritual.

Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

2. Bertemu jembatan penghubung dunia spiritual dan nyata

Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

Ketika menelusuri jalannya, kita akan disambut lagi oleh jembatan Cheongun-gyo dan Baegun-gyo, yang merupakan salah satu simbol dari pemisahan antara dunia serta alam spiritual. Jembatan-jembatan ini mengantarkan kita ke aula utama melalui 33 anak tangga. Penempatan 33 anak tangga juga tak sembarangan, karena itu melambangkan jumlah surga dalam kosmologi Buddhis.

Bergeser ke aula utama, ada dua pagoda yang menyambut kamu, Seokgatap dan Dabotap, dengan arti berbeda. Seokgatap merupakan simbol keheningan, pencerahan, dan kesederhanaan. Kemudian, Dabotap mewakili keanekaragaman jalan menuju kebenaran, simbol kemegahan ajaran Buddha.

Kamu diperbolehkan loh masuk ke aula utama. Tapi, harus diingat untuk melepas sepatu, tidak berisik, dan dilarang ambil foto atau video.

Selain aula utama, masih ada lagi bagian lain yang bisa ditelusuri, seperti ruangan untuk para biksu belajar, Museoljon. Di sini, kita akan disajikan dengan berbagai ornamen serta artefak yang biasa digunakan para biksu untuk beribadah.

Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)
Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

3. Ada artefak berharga, harta karun Korea Selatan

Kuil Bulguksa di Gyeongju (IDN Times/Satria Permana)

IDN Times kemudian menelusuri kuil ke arah aula Geugnakjeon. Di sini, ternyata ada sebuah artefak yang paling berharga untuk Korea Selatan. Terdapat satu stupa yang sudah menjadi harta karun karena diyakini menjadi simbol dari dinasti Silla.

Stupa ini sempat diangkut oleh tentara Jepang ke Ueno Onshi Park, Tokyo, saat masa pendudukan. Namun, pada akhirnya dikembalikan pada 1933.

Kini, stupa tersebut dipagari, karena strukturnya yang sudah mulai rawan, harus dilindungi, serta dirawat keberadaannya.

Editorial Team