Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Upaya penyelamatan korban banjir Malaysia. (twitter.com/NADMA Malaysia)

Jakarta, IDN Times – Beberapa korban terdampak banjir Malaysia mengaku belum memperoleh bantuan sama sekali dalam sepekan terakhir. Seorang pedagang bernama Rohkiah Abdul Aziz mengatakan, dia dan suaminya ditolak oleh petugas di sebuah kamp pengungsian Selangor ketika meminta bantuan makanan dan kebutuhan lainnya.

“Mereka menyuruh kami menunggu bantuan di daerah kami dan tidak mau mengalah meskipun ada sisa makanan dan makanan yang belum diambil. Jadi kami tidak punya pilihan selain pulang (rumah mereka di Kampung Kubu Gajah),” kata Rohkiah dikutip dari The Straits Times, Senin (27/12/2021).

Rohkiah juga mengaku, sejak banjir melanda kediamannya sembilan hari lalu, tidak ada satupun lembaga pemerintah maupun anggota parlemen yang datang untuk membantu. Dari kejadian itu, dia mengatakan telah melihat watak asli pemerintahnya.

1. Pengurusan untuk dapat bantuan berbelit-belit

Angkatan darat Malaysia sedang membantu korban banjir Malaysia. (twitter.com/Hishammuddin Hussein)

Rohkiah menuturkan bahwa persyaratan untuk mendapat bantuan sangat rumit. Warga setidaknya harus mengisi tiga formulir, yang nantinya formulir itu disetor untuk petugas distrik, layanan majelis, dan otoritas zakat Islam. 

"Semua formulir diisi pada 20 Desember, tapi sudah seminggu dan kami belum mendengar kabar dari siapa pun," tutur Rohkiah.

Pada Minggu (26/12/2021), Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob mengatakan, dia telah menyerukan kepada instansi dan departemen terkait yang mengelola bantuan tunai untuk menyederhanakan proses dan menghilangkan birokrasi.

Lebih lanjut, dia menyebut bahwa korban banjir sudah berada dalam kesulitan sehingga tidak perlu lebih dipersulit lagi.

2. Rakyat kecewa dengan pemerintah

Warga dibantu petugas untuk mengungsi di tengah peristiwa banjir di Selangor, Malaysia. (twitter.com/Hishammuddin Hussein)

Melansir Channel News Asia, Asniyati Ismail, seorang pemukim di Shah Alam, Selangor, mengaku marah terhadap lambatnya respons pemerintah dalam menanggapi korban banjir. Banyak juga yang merasa frustrasi terhadap pihak berwenang, bukan hanya Asniati.

"Saya marah. Tidak ada bantuan dari pemerintah. Kami membutuhkan uang tunai untuk membangun kembali kehidupan kami. Ada lumpur di mana-mana, semuanya telah hancur," kata Asniyati.

Tumpukan sampah yang tertinggal setelah banjir juga memicu kekhawatiran akan wabah penyakit. Selangor, yang mengelilingi ibu kota Malaysia Kuala Lumpur, adalah negara bagian yang dilanda banjir paling parah.

Banyak orang di Shah Alam terdampar di rumah mereka tanpa makanan selama berhari-hari, sebelum dievakuasi dengan kapal dalam operasi penyelamatan yang juga dianggap kacau balau. Sementara itu, PM Ismail telah mengakui itu sebagai kelemahan dan berjanji akan berbenah untuk ke depannya.

3. Banjir yang melanda Malaysia

Petugas dalam evakuasi korban banjir Malaysia. (twitter.com/Hishammuddin Hussein)

Malaysia dilanda banjir setiap tahun selama musim hujan dari November hingga Februari, namun bulan ini merupakan yang terburuk sejak 2014. Pejabat mengatakan bahwa banjir telah menewaskan sedikitnya 48 orang dan lima orang masih dinyatakan hilang di seluruh Malaysia.

Isu pemanasan global juga dikaitkan dengan peristiwa banjir ini. Dilansir Reuters, Kementerian Lingkungan akan mengajukan permintaan dana sebesar 3 juta Dolar AS (Rp 42,6 milliar) kepada Dana Iklim Hijau Perserikatan Bangsa-Bangsa (GCF) guna mengembangkan rencana nasional dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.

Dana yang diminta itu disebut tidak seberapa dibanding anggaran untuk mitigasi banjir yang telah melanda beberapa negara bagian Malaysia. Kendati begitu, para ahli mengatakan implementasi rencana tersebut kemungkinan akan memakan biaya yang lebih besar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team