Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
François Bayrou. (Jacques Paquier, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)
François Bayrou. (Jacques Paquier, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Bayrou ingin memotong anggaran belanja negara sebesar 44 miliar euro.

  • Langkah ini dianggap tidak adil dan mengguncang kepercayaan investor.

  • Kondisi ekonomi Prancis yang buruk membuat rencana ini ditentang.

  • Lengsernya Bayrou menjadi pukulan kedua bagi Macron dalam kurun waktu kurang dari setahun.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Prancis di bawah Perdana Menteri François Bayrou lengser setelah kalah dalam mosi kepercayaan di parlemen pada Senin (8/9/2025). Kejatuhan ini dipicu oleh rencana pemotongan anggaran yang ditentang oleh koalisi oposisi sayap kiri dan kanan-jauh.

Sebanyak 364 anggota parlemen memberikan suara menentang pemerintah, sementara hanya 194 yang mendukung, melampaui ambang batas 280 suara yang dibutuhkan. Bayrou, yang baru menjabat selama sembilan bulan, dijadwalkan akan mengajukan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9/2025), menyeret Presiden Emmanuel Macron ke dalam krisis politik yang semakin dalam.

1. Rencana pemangkasan anggaran picu kejatuhan Bayrou

Pemicu utama kejatuhan ini adalah rencana Bayrou untuk memangkas anggaran belanja negara sebesar 44 miliar euro atau sekitar Rp851 triliun. Kebijakan penghematan ini diusulkan untuk mengatasi kondisi utang publik Prancis yang dinilai sudah berada di tingkat mengkhawatirkan.

Kondisi ekonomi Prancis memang sedang berada di bawah tekanan. Defisit anggarannya mencapai 5,8 persen dari produk domestik bruto (PDB), hampir dua kali lipat dari batas tiga persen yang ditetapkan oleh Uni Eropa, sementara total utang negara telah membengkak hingga 114 persen dari PDB.

Langkah tersebut ditentang karena dianggap tidak adil dan akan memberikan beban terberat bagi masyarakat golongan miskin di Prancis. Ketidakstabilan politik ini juga telah mengguncang kepercayaan investor, yang menyebabkan imbal hasil obligasi pemerintah Prancis kini melampaui obligasi Spanyol, Portugal, dan Yunani.

Sebelum pemungutan suara, Bayrou sempat memberikan peringatan mengenai masalah ekonomi yang dihadapi Prancis.

"Anda memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi Anda tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kenyataan. Realitas akan tetap ada, pengeluaran akan terus meningkat, dan beban utang yang sudah tak tertahankan akan tumbuh lebih berat dan lebih mahal," kata Bayrou, dikutip dari Al Jazeera.

2. Oposisi desak Macron untuk mundur

Lengsernya Bayrou menjadi pukulan kedua bagi Macron dalam waktu kurang dari setahun. PM sebelumnya, Michel Barnier, juga digulingkan melalui mosi tidak percaya pada Desember 2024, membuat Macron kini harus mencari PM kelimanya hanya dalam 20 bulan terakhir.

Ketidakstabilan politik ini dipicu oleh keputusan Macron untuk mengadakan pemilu sela pada 2024 lalu. Hasil pemilu tersebut justru membuat partainya kehilangan banyak kursi, menciptakan parlemen yang terpecah tanpa ada satu pun kekuatan politik yang memegang mayoritas.

Kondisi ini membuat posisi pemerintahannya sangat rentan dan menyisakan pilihan yang terbatas bagi Macron untuk menunjuk PM baru. Beberapa nama potensial untuk calon PM berikutnya adalah Menteri Angkatan Bersenjata Sébastien Lecornu dan Menteri Kehakiman Gérald Darmanin.

Oposisi dari kubu sayap kiri dan kanan-jauh telah memberi isyarat bahwa mereka akan kembali mengajukan mosi tidak percaya jika Macron menunjuk figur dari kelompok tengah lainnya. Tekanan juga berbalik ke arah Macron, dengan para pemimpin oposisi mulai menyerukan agar dirinya ikut mundur.

"Bayrou telah jatuh. Kemenangan dan kelegaan bagi rakyat. Macron sekarang berada di garis depan menghadapi rakyat, dia juga harus turun," ujar Jean-Luc Mélenchon, pemimpin partai sayap kiri France Unbowed, dilansir NBC.

3. Krisis politik berisiko memicu gelombang demonstrasi

Krisis di parlemen berisiko memicu gelombang demonstrasi, mengingat kepercayaan publik terhadap para politisi semakin memburuk. Kelompok sayap kiri bahkan telah menyerukan aksi protes nasional pada hari Rabu (10/9/2025) dengan slogan "Bloquons tout" atau "Ayo Blokir Semuanya," disusul rencana mobilisasi massa oleh serikat pekerja pada 18 September.

Analis memprediksi krisis ini akan terus berlanjut hingga pemilihan presiden pada 2027 mendatang. Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa partai kanan-jauh National Rally pimpinan Marine Le Pen akan keluar sebagai pemenang jika pemilu parlemen dipercepat.

Le Pen menyebut momen ini sebagai bukti kegagalan elite politik Prancis selama puluhan tahun.

"Ini adalah momen kebenaran. Di saat para pemimpin dipaksa untuk mengungkap dampak buruk dari lima dekade pengelolaan yang boros. Tontonan menyedihkan dari keruntuhan negara, bencana bagi rakyat Prancis saat ini, konsekuensinya akan memengaruhi generasi mendatang," kata Le Pen.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team